Dokumen Untuk Jokowi Dianggap Sampah, Veronica Koman: Memperdalam Luka Orang Papua

319
Dok Twitter

Sironline.id, Jakarta – Nama aktivis sekaligus pengacara HAM Veronica Koman jadi perbincangan publik pasca postingan yang dianggap menyebar berita bohong atau hoaks serta provokasi terkait Papua melalui akun Twitter @VeronicaKoman. “Momen polisi mulai tembak ke dalam Asrama Papua, total 23 tembakan termasuk gas air mata”.

“anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung, disuruh keluar ke lautan massa” demikian kalimat yang diunggah Veronika dalam bahasa Inggris pada 18 Agustus 2019. Karena postingan tersebut, Kepolisian menetapkan Veronika Koman sebagai tersangka baru dalam kasus kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah di Papua, September 2019.

Dinilai sangat aktif melakukan provokasi, polisi menjerat Veronica dengan pasal berlapis yakni UU ITE, KUHP pasal 160, UU no 1 tahun 1946 dan UU no 40 tahun 2008. Hingga kini VK merupakan warga negara Indonesia (WNI) dan memiliki KTP Indonesia meski berada di luar negeri.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan saat itu, Wiranto meyakini Kepolisian sudah melakukan prosedur hukum yang berlaku sebelum menetapkan Veronica sebagai tersangka. Menurutnya, penetapan tersangka terhadap Veronica tidak dapat diganggu. Ia mengatakan proses hukum terhadap Veronica harus tetap berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku.

Empat bulan berlalu, namanya kembali mencuat pasca Veronica menuturkan telah memberikan dokumen berisi data 57 tahanan politik serta 243 korban sipil yang tewas di Nduga, Papua, sejak Desember 2018 yang diserahkan pengacara hak asasi manusia (HAM) Veronica Koman kepada Presiden saat Jokowi berkunjung ke Canberra, Australia, Senin (10/02/2020).

“Tim kami di Canberra telah berhasil menyerahkan dokumen-dokumen ini langsung kepada Presiden Jokowi. Dokumen ini memuat nama dan lokasi 57 tahanan politik Papua yang dikenakan pasal makar, yang saat ini sedang ditahan di tujuh kota di Indonesia,” ungkap Veronica, Selasa (11/02/2020).

Veronica mengungkapkan, Jokowi telah membebaskan lima tahanan politik Papua selama periode pertama pemerintahannya, pada tahun 2015. Namun, pada periode keduanya, terdapat 57 tahanan politik yang sedang menunggu sidang. Veronica menilai langkah ini hanya akan memperburuk konflik di Papua. Veronica pun mempertanyakan langkah Jokowi terhadap permintaan penarikan pasukan dari Nduga.

“Kami juga menyerahkan nama beserta umur dari 243 korban sipil yang telah meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018, baik karena terbunuh oleh aparat keamanan maupun karena sakit dan kelaparan dalam pengungsian,” tambahnya.

Menanggapi isu isu tersebut, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menilai dokumen yang diserahkan pada Presiden Joko Widodo tidak penting. Mahfud menganggap dokumen itu hanya sampah.

Mahfud yang turut mendampingi Jokowi di Negeri Kanguru juga tidak mengetahui apakah dokumen tersebut benar-benar sudah diserahkan langsung kepada Kepala Negara. Menurutnya banyak warga yang berebut untuk bersalaman dan menyerahkan surat ke Jokowi.

“Saya tahu surat seperti itu banyak. Orang berebutan salaman, kagum kepada Presiden, ada yang kasih map, amplop, surat gitu, jadi tidak ada urusan Koman atau bukan. Kita enggak tahu itu Koman apa bukan. Belum dibuka kali suratnya. Surat banyak,” kata Mahfud di Istana Bogor, Selasa (11/02/2020) sore.

Berharap Investigasi

Di tempat terpisah, Veronica menyayangkan pernyataan Menkopolhukam yang menyebut dokumen yang diberikan adalah sampah. “Namun tetap sangat disayangkan, mengingat ini akan memperdalam luka orang Papua,” ungkap Veronica.

Meski demikian, ia mengaku tidak terkejut dengan pernyataan Mahfud tersebut. Veronica teringat ketika Mahfud menyebut bahwa tidak ada lagi kasus kejahatan HAM pasca-reformasi 1998. “Beliau mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hati rakyat, bahwa tidak ada satu pun pelanggaran HAM di era Jokowi, jadi sebetulnya tidak terlalu mengagetkan ketika pernyataan seperti ini juga muncul dari beliau,” katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan sepertinya semakin sulit bagi korban untuk mendapat keadilan karena pelanggaran HAM tidak diakui oleh pemerintah. Hal itu, menunjukkan semakin buruknya penegakan HAM saat ini. Ia pun pesimistis bahwa pemerintah akan menarik aparat keamanan dari Papua. “Tidak terlalu optimis memang, tetapi setidaknya sekarang kita sudah tahu, bahwa operasi militer di Nduga masih lanjut bukan karena Presiden Jokowi tidak tahu sudah makan banyak korban,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mendorong pemerintah menindaklanjuti data korban tewas dan tahanan politik Papua yang diserahkan oleh tim aktivis HAM Veronica Koman . “Sebaiknya data Papua tersebut ditindaklanjuti agar situasi HAM di Papua membaik,” kata Usman Selasa, (11/02/2020).

Usman menambahkan jika dalam dokumen yang diserahkan pada Jokowi ada 243 orang yang meninggal, termasuk 110 anak. Menurutnya pemerintah perlu segera membatalkan dakwaan makar berdasarkan Pasal 106 dan 110 KUHP terhadap aktivis politik yang mengemukakan pendapat politik secara damai. Bukan hanya aktivis yang mengemukakan pendapat, tapi juga aktivis yang mengadvokasi aspirasi kemerdekaan atau solusi politik lainnya untuk wilayah mana pun di Indonesia, termasuk Papua dan Maluku.

“Yang tidak melibatkan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan, dan segera membebaskan mereka tanpa syarat,” kata Usman.

Usman meminta Presiden Jokowi segera melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran HAM di Papua, termasuk kematian yang terjadi di Nduga. Ia meminta investigasi secara independen mesti dilakukan terhadap potensi kematian tidak sah di Papua dalam kekerasan dan kerusuhan serta kasus lain yang belum diselesaikan, termasuk kasus Paniai dan kematian di Nduga.

Selain itu, Usman menyarankan pemerintah mengupayakan pencegahan terhadap penghinaan rasis dan intimidasi oleh personel pasukan keamanan dan aktor nonnegara lainnya terhadap aktivis maupun mahasiswa Papua seperti yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur. D. Ramdani