BI Targetkan Pertumbuhan Kredit Perbankan hingga 10%

56
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo meminta perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit.

sironline.id, Jakarta – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memprediksi pada 2020 pertumbuhan kredit mencapai 10%. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pertumbuhan kredit perbankan pada 2019 hanya tumbuh 6,08%.

“Salah satu alasannya karena siklus ekonomi Indonesia sedang meningkat. Output potensial Indonesia tercatat 5,5%. Jadi dalam siklus ekonomi, gambarannya Indonesia masih berasa pada kurva naik. Ini adalah perhitungan yang empiris. Jadi ini yang kita sedang saksikan,” jelasnya di acara Mandiri Investment Forum bertema Indonesia: Advancing Investment – Led Growth di Jakarta, Rabu (5/2/2020).

Ia mengatakan kurva siklus ekonomi terus naik. Hal tersebut dibantu oleh kebijakan akomodatif. “Di bawah kepemimpinan saya, BI ada 5 instrumen. Moneter, makroprudensial, payment system, financial market deepening dan syariah economic,” jelasnya di acara yang dihadiri oleh lebih dari 800 investor, termasuk 121 investor asing yang mengelola dana USD4 triliun.

Ia pun meminta perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit. Hal ini karena BI telah memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) yang sebelumnya 6% menjadi 5%. Untuk diketahui, hasil Rapat Dewan Gubernur Januari 2019 lalu, BI mempertahankan suku bunga acuan di level 5 %. “Tahun lalu, kita menurunkan suku bunga 4 kali. Tentu saja kami tetap berusaha meminta bank memangkas suku bunganya,” ujarnya.

Eko Listiyanto, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan target pertumbuhan kredit di tahun 2020 sebesar 10% akan sulit tercapai.  “Tahun lalu pertumbuhan kredit perbankan hanya 6,08%  dan tanda- tanda perbaikan ekonomi sektor riil belum terlihat. Mungkin hanya tercapai 8%,” jelasnya.

Ia menilai target pertumbuhan kredit sebesar 10% bisa tercapai dengan syarat suku bunga acuan turun minimal 1% di tahun ini menjadi sebesar 4%. Dengan suku bunga acuan dipangkas 1% baru bisa mengangkat suku bunga kredit agak rendah. Syarat lain adalah yield Surat Berharga Negara (SBN) harus lebih rendah dari 6% supaya tidak terjadi persaingan antara Bank dengan pemerintah dalam menghimpun dana masyarakat. “Kalau yield SBN masih tinggi di angka 6% maka bunga deposito tidak akan turun,” tambahnya.

Rata-rata suku bunga kredit pada 2019 adalah 10,5%. Jika suku bunga kredit menurun, industri dan dunia usaha tidak perlu mencari pinjaman ke luar negeri. Ia mengatakan sekarang banyak industry dan dunia usaha di dalam negeri lebih banyak menggunakan sumber pembiayaan offshore atau pinjaman luar negeri.

“Kita tidak tahu resikonya sebesar apa kalau ekonomi bergejolak. Mereka terpaksa lakukan itu karena tingginya bunga bank di Indonesia. Padahal pembiayaan offshore walaupun di-hedging tetap ada resiko nilai tukar. Kita belum tahu sejauh mana kekuatan Rupiah, apalagi di bulan-bulan kritis seperti di September biasanya Rupiah melemah karena saat itu merupakan waktu pembayaran utang luar negeri yang cukup banyak, untuk impor, persiapan natal dan akhir tahun, menjaga stok BBM yang tidak boleh kurang dari 21 hari. Semua dinamika ini mempengaruhi permintaan Dolar. Dalam hal ini peran Bank Indonesia cukup penting untuk menurunkan suku bunga kredit dan pemerintah juga tidak terlalu berambisi untuk mencari utang di SBN,” paparnya.

Saat ini ada kecenderungan bank lebih memilih menempatkan dana di obligasi pemerintah dan surat berharga lainnya. Sepanjang 2019, alokasi dana perbankan di Surat Berharga Negara (SBN) dan surat berharga lainnya naik 15,8%. “Pertumbuhan kredit perbankan hanya 6,08 % tapi keuntungan perbankan tetap besar. Hal ini karena bunga deposito di bawah 5%, tapi bank membeli SBN yang bunganya 6,3%. Jadi perbankan masih mendapat keuntungan 1-2%. Pemerintah seharusnya mengupayakan supaya utang tahun ini tidak lebih tinggi dibanding tahun lalu sehingga bisa merencanakan SBN supaya tidak terlalu agresif masuk ke pasar,” jelasnya.

Ia pun mengingatkan pemerintah untuk melakukan antisipasi di awal tahun dengan menggenjot penerimaan meskipun relatif agak sulit. Pemerintah juga harus melakukan efektivitas belanja supaya tidak menambah utang. Sebagai contoh terkait insentif, belanja pajak yang nilainya di atas Rp200 triliun apakah berdampak terhadap ekonomi? Kalau tidak ada dampaknya harus dihilangkan sehingga bisa menambah penerimaan negara.