Profesor ITS Kembangkan Teknologi Kesehatan Berbasis Kecerdasan Artifisial

198
Prof. Dr. Agus Zainal Arifin, S.Kom, M.Kom, menunjukkan aplikasi pendeteksi osteoporosis melalui citra rahang gigi yang dirancangnya.

 

Surabaya- Inovasi dalam teknologi medis ikut menjadi perhatian sivitas akademika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) untuk dikembangkan. Salah satunya melalui teknologi pengolahan citra medis lewat kecerdasan artifisial yang diciptakan oleh Prof. Dr. Agus Zainal Arifin, S.Kom, M.Kom. Temuannya ini pun mengantarkannya menjadi guru besar ITS yang akan dikukuhkan secara resmi, Rabu (12/2/2020).

Kecerdasan artifisial berbasis aplikasi citra medis temuan Agus ini dapat digunakan untuk melakukan deteksi osteoporosis menggunakan citra rahang, identifikasi penyakit periodontitis kronis dan estimasi usia melalui citra panorama gigi. Selain itu, klasifikasi massa pada citra mammogram untuk mendeteksi kanker payudara dan deteksi parasit malaria melalui citra apusan tebal darah.

Tampilan aplikasi deteksi osteoporosis menggunakan citra rahang gigi karya Prof. Dr. Agus Zainal Arifin, S.Kom, M.Kom.

Salah satu aplikasi temuannya, yaitu pendeteksi osteoporosis, bahkan sudah mendapatkan hak paten sejak tahun 2011 lalu. Melalui aplikasi ini, dokter gigi bisa mendapatkan informasi awal terkait osteoporosis menggunakan citra rahang penderita. Nantinya informasi tersebut dapat digunakan untuk merujuk penderita ke dokter spesialis yang relevan. “Sehingga hal tersebut dapat mengurangi risiko patah tulang akibat penanganan yang terlambat,” tutur mantan Dekan Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi ITS ini.

Adapun purwarupa pendeteksi osteoporosis menggunakan citra rahang ini, menurut Agus, sudah diuji coba dengan baik dan sudah mulai digunakan oleh dua dokter gigi yang berada di Surabaya dan Bandung. “Tanggapan mereka juga sangat baik karena merasakan kemudahan dalam melakukan deteksi penyakit lebih awal,” kata dosen Departemen Informatika ITS ini dalam rilis yang diterima Independent Observer.

Selain menggunakan citra rahang, Agus juga menciptakan aplikasi deteksi osteoporosis dengan Cone-Beam Computed Tomography (CBCT). Kelebihan CBCT ini, menurutnya, adalah memiliki resolusi yang tinggi dengan dosis radiasi yang relatif rendah. Aplikasi ini juga sudah jadi dan diuji coba dengan baik. “Namun aplikasi ini belum banyak digunakan karena harganya yang relatif mahal meskipun lebih murah dibandingkan CT-Scan,” ungkap dosen yang menyelesaikan studi doktornya di Hiroshima University, Jepang ini.

Pengembangan teknologi medis yang dilakukan Agus juga menghasilkan perangkat bantu estimasi usia berdasarkan citra radiografi panoramik gigi untuk individu usia dewasa. Hasil penelitian ini sangat penting untuk membantu tenaga ahli odontologi forensik mengidentifikasi usia korban kecelakaan atau bencana melalui fitur gigi. “Penggunaan gigi karena meski tubuh sudah hancur, membusuk, terbakar, atau termutilasi masih dapat dilakukan identifikasi.”

Adapun pengembangan sistem untuk mendeteksi parasit malaria pada citra apusan tebal darah berkualitas rendah, diharapkan dapat digunakan untuk proses diagnosis malaria di Indonesia, khususnya di kawasan timur Indonesia yang memiliki potensi malaria yang tinggi. Penelitian ini, kata Agus, adalah bagian dari kerja sama dengan Badan Pusat Pengkajian Teknologi (BPPT) dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.

Dijelaskan kelahiran 9 Agustus 1972 ini pemanfaatan kecerdasan artifisial dalam dunia medis yang dikembangkannya ini diharapkan dapat meminimalisasi tingkat kesalahan dalam pengambilan keputusan medis. Ke depan diharapkan dapat berperan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Replikasi perangkat lunak yang digunakan yang tidak memerlukan biaya tinggi diharapkan dapat menekan biaya layanan kesehatan ke depannya.

Agus berharap, temuannya ini dapat menginspirasi berkembangnya integrasi keilmuan di bidang pengolahan citra digital, visi komputer, dan kecerdasan artifisial demi terwujudnya kemandirian dan kedaulatan teknologi alat kesehatan. “Pada akhirnya akan tercipta peningkatan kualitas hidup manusia karena keterjangkauan biaya kesehatan dan semakin canggihnya alat kesehatan,” ucapnya. (*/est)