GIAD: Belum Tepat Amandeman GBHN Saat Ini

36
Dok Rayi Gigih

Sironline.id, Jakarta – Selaras dengan makin intensifnya sosialisasi amandemen UUD tentang GBHN oleh Pimpinan MPR dan berbagai partai politik, Gerakan untuk Indonesia Adil & Demokratis (GIAD) menyatakan Amendemen UUD 1945 dan GBHN belum tepat waktunya.

“Saya kira bukan waktu yang tepat untuk mengamandemen UUD sekarang ini. Karena tidak ada alasan yang kuat untuk memberikan kepercayaan penuh pada DPR atau MPR sekarang untuk melakukan amandemen,” ujar peneliti Formappi, Lucius Karus dalam pertemuan GIAD dengan Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja Gereja Indonesia (MPH PGI) di Graha Oikoumene PGI, Jakarta, Senin (27/01/2020).

Ia mengingatkan jika amandemen pernah dilakukan sebanyak 4 kali, namun terdapat perbedaan pada setiap perubahan amandemen. Perbedaannya situasi di tahun 1999 sampai 2002, niat amandemen itu muncul dari keinginan hampir seluruh masyarakat Indonesia, yang kemudian dieksekusi oleh MPR saat itu (bawah ke atas).

“Sedangkan, rencana perubahan Amandemen sekarang ini datang dari elite (atas ke bawah), sehingga dipaksakan kepada masyarakat dan kelompok masyarakat untuk ikut mendukung, jelas itu dua hal yang berbeda,” tambahnya.

Juru bicara GIAD Jeirry Sumampow menyampaikan, apapun bentuknya, entah amandemen terbatas atau tidak, niat melakukan Amandemen UUD 1945 itu sarat dengan kepentingan terselubung.

“Wacana untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara menguat beberapa waktu terakhir. Lewat hasil Kongres V pada 2019, PDIP bahkan mendorong amendemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan untuk menetapkan GBHN. Ketua MPR Bambang Soesatyo juga memberikan dukungan tegas bagi upaya amendemen terbatas, termasuk untuk mengubah beberapa pasal lain dalam UUD 1945,” tutur Jeirry yang juga menjabat sebagai Koordinator Komite Pemilih Indonesia itu, Senin (27/01/2020).

Lebih lanjut ia mengatakan jika agenda amendemen terbatas UUD 1945 patut ditolak karena berpotensi menjadi “bola liar” yang dapat dimanfaatkan oleh elite politik bukan hanya untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan untuk menyusun GBHN, tetapi juga untuk merusak tata negara hanya demi pemenuhan ambisi kekuasaan.

Sementara itu, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti mengatakan upaya untuk mendudukkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dapat mengacaukan konstruksi presidensialisme dan mekanisme checks and balances dalam relasi Presiden-DPR, yang coba diperkuat lewat amendemen terdahulu maupun praktik politik dalam dua dekade terakhir. Alih-alih memperkuat kedaulatan rakyat, mengembalikan kewenangan MPR untuk menyusun GBHN berpeluang mempersempit ruang partisipasi publik dan mendegradasi daulat rakyat, yang perlu untuk ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya, dalam penyusunan rencana pembangunan.

“Amandemen terbatas UUD 1945 pasti ada efek turunannya. Tidak hanya terhadap ketatanegaraan kita tetapi juga anggaran, politik, dan sebagainya. Jadi tidak ada jaminan bagi perbaikan bangsa, justru potensi negatifnya sangat kuat. Maka jika hal ini dilakukan saya rasa sebagai langkah mundur,” tandasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, jika kontrol terhadap capaian dan anggaran pembangunan ingin dijalankan secara efektif dan efisien, jalan pertamanya bukanlah penyusunan GBHN oleh MPR, melainkan optimalisasi mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan melibatkan bukan hanya elemen negara melainkan juga partisipasi meluas publik. Tujuan untuk mewujudkan pembangunan berkesinambungan juga dapat dijalankan bukan melalui penyusunan GBHN oleh MPR, tetapi melalui penguatan koordinasi antar-lembaga serta melalui transfer kekuasaan antar-periode pemerintahan dengan memerhatikan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang terintegrasi.

Turut hadir, Seknas Fitra Badi’ul Hadi menambahkan jika alasan penyusunan GBHN oleh MPR untuk mewujudkan pembangunan komprehensif juga sulit diterima. Sebab, saat ini tuntutan perencanaan pembangunan nasional berbasis UU No 25 Tahun 2004 cukup integratif dan komprehensif, termasuk meliputi koordinasi antara unsur-unsur pemerintah dan rakyat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta antara pihak eksekutif dan legislatif.

“Dengan demikian, langkah perbaikan praktik ketatanegaraan, termasuk dengan memajukan budaya politik demokratis, menjadi jauh lebih mendesak dibandingkan mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara,” ujarnya. D. Ramdani