Pemerintah Harus Lakukan ‘Detoksifikasi’ Aliran Hot Money

58
Acara INDEF bertema Mampukah Konsolidasi Perbankan Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan? Di Jakarta, 22 Januari 2020.

sironline.id, Jakarta – Sektor keuangan Indonesia menjadi salah satu sektor yang banyak mendapat sorotan publik akhir-akhir ini. Kondisi perekonomian global melambat saat ini terutama di negara-negara maju, tidak mengherankan jika likuiditas global bermigrasi ke negara-negara berkembang, termasuk ke Indonesia. Ini dikarenakan hampir semua negara maju menggunakan strategi pelonggaran kebijakan moneter untuk mendorong perekonomiannya, sehingga insentif bunga yang diberikan semakin kecil. Sukua bunga acuan di Amerika Serikat saat ini hanya 1,75%. Suku bunga acuan di AS yang rendah ini membuat investor memilih menanamkan uangnya di negara-negara yang masih memiliki tingkat bunga menarik.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto  mengatakan jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, suku bunga acuan di Indonesia relatif lebih tinggi sehingga mendorong masuknya dana-dana jangka pendek. Sebagai perbandingan, pada Desember 2019 suku bunga acuan di Malaysia dan Thailand sebesar 3 persen, Filipina 4 persen, sementara suku bunga acuan (BI 7-day reverse repo rate) Indonesia masih 5 persen.

Ia menambahkan di tahun 2019 dana asing yang masuk ke Indonesia sebesar Rp224 triliun, namun persoalannya 75% dari dana asing yang masuk berupa Surat Berharga Negara (SBN)  yang sifatnya hanya sementara hanya sekitar tiga bulan. Saat asing masuk membeli SBN maka rupiah kita menguat dan cadangan devisa kita naik, tapi bukan dari transaksi perdagangan luar negeri.

Selain itu realisasi inflasi 2019 berada pada tingkat yang cukup rendah, yaitu 2,72 persen yoy. Di samping itu, nilai tukar Rupiah juga cenderung menguat dengan rata-rata Rp14.146/USD selama 2019, bahkan per 21 Januari 2020 mengalami apresiasi di Rp13.658/USD. Cadangan devisa pun meningkat, di Januari 2019 berada di USD120,08 miliar meningkat menjadi USD129,18 miliar pada Desember 2019.

“Agar dana-dana jangka pendek ini tidak menimbulkan gejolak nilai tukar saat investor menarik dananya, maka harus mulai dilakukan ‘detoksifikasi’ atas derasnya aliran hot money ini. Penurunan suku bunga acuan menjadi salah satu opsi yang bisa dilakukan untuk menjaga agar nilai tukar lebih stabil. Seiring spread suku bunga dengan realisasi inflasi 2019 yang cukup lebar dan relatif stabilnya nilai tukar, maka terbuka ruang bagi penurunan suku bunga acuan ke depan,” paparnya di acara INDEF bertema Mampukah Konsolidasi Perbankan Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan? Di Jakarta, 22 Januari 2020.

Ia menambahkan penurunan suku bunga sebaiknya juga disertai dengan stimulus di sektor riil. Pemerintah juga harus mereview apakah semua insentif yang diberikan sudah berjalan secara efektif.