Omnibus Law Harus Mendorong Percepatan Reindustrialisasi

40

sironline.id, Jakarta – Sektor industri memiliki peran strategis karena mampu  memberikan kontribusi paling besar terhadap perekonomian nasional. Selain itu, kegiatan di sektor industri mampu membawa dampak luas terhadap penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai tambah, penerimaan devisa dari ekspor hingga penerimaan pajak untuk negara.

Namun demikian, hampir selama 1 dasawarsa terakhir pertumbuhan sector industri manufaktur terus menunjukkan perlambatan. Terakhir pada triwulan III 2019, industri manufaktur (migas dan non migas) hanya mampu tumbuh 4,15 persen, sementara untuk manufaktur non migas tumbuh 4,68 persen. Capaian pertumbuhan ini lebih rendah dari periode yang sama tahun 2018 yang mencapai 5,02 persen (industri pengolahan non migas) dan 4,35 persen (industri pengolahan migas).

Ahmad Heri Firdaus, Peneliti INDEF Centre of Investment, Trade, and Industry mengatakan apabila ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, maka pertumbuhan industri harus didorong lebih tinggi.  Namun pada 2019, industri justru tumbuh melambat. Pertumbuhan industri manufaktur yang tumbuh rendah dan hanya berkisar di bawah pertumbuhan  ekonomi menyebabkan penurunan kontribusi industri terhadap perekonomian. Pada 2009 kontribusi industri terhadap perekonomian masih mencapai 26,36 persen, namun pada triwulan III 2019, kontribusi industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya mencapai 19,62 persen.

“Sektor industri sebagai kontributor terbesar, namun pertumbuhannya jauh lebih rendah dibanding sektor-sektor lain, khususnya jasa. Pertumbuhan yang relatif rendah pada industri manufaktur menyebabkan berbagai implikasi terhadap perekonomian, diantaranya sulitnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri, terbatasnya kemampuan ekspor, minimnya penciptaan nilai tambah dan kontribusi terhadap penerimaan negara yang sulit meningkat,” jelasnya.

Oleh sebab itu ia menilai terkait dengan rancangan UU Omnibus Law, harus mengarah kepada percepatan reindustrialisasi. Reindustrialisasi perlu keterlibatan berbagai stakeholders lintas sektor yang didukung oleh penguatan dan kepastian regulasi. Selama ini, tanggung jawab untuk meningkatkan daya saing dan pertumbuhan industri terkesan menjadi tugas satu kementerian saja (misalnya Kementerian Perindustrian). Padahal faktor-faktor yang memengaruhi daya saing dan pertumbuhan industri banyak ditentukan kementerian/lembaga lain. Oleh sebab itu, perlu adanya daya dukung terhadap industrialisasi untuk mencapai daya saing yang lebih baik.

Dukungan yang diperlukan antara lain: 1. dukungan bahan baku untuk industri yang kompetitif, berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan industri hilir; 2. Dukungan energi untuk industri (listrik, gas dan energi lain yang kompetitif dan efisien); 3. Dukungan tenaga kerja yang berkualitas dan produktif; 4. Dukungan logistik yang efisien, mudah dan murah (biaya logistik harus ditekan); 5.Dukungan insentif/stimulus fiskal yang tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan industri; 6. Penyediaan lahan industri yang murah dan memiliki kepastian jangka panjang; 7. Dukungan kebijakan perdagangan internasional (pengendalian impor dan perluasan ekspor).

Terkait dengan poin-poin yang penting untuk dimasukkan dalam rancangan UU omnibus, maka perlu dukungan untuk meningkatkan daya saing, diantaranya standarisasi produk industri dan kemudahan usaha di sektor industri. Hal ini penting untuk mendorong daya saing.

Terkait dengan standarisasi produk industri, perlu menciptakan iklim usaha yang mendukung pelaku industri dalam mengembangkan produk yang terstandar dan kompetitif. Jangan sampai kebijakan standarisasi ini justru mempersulit pelaku usaha industri di dalam negeri dan di sisi lain semakin memudahkan produk impor (barang konsumsi).

Terkait dengan kemudahan berusaha, perlu memprioritaskan kemudahan usaha bagi pelaku industri yang padat karya, orientasi ekspor/subtisusi impor serta industri yang mampu menyerap local content cukup tinggi.