Minimalisir Politik Uang, Pemerintah dan DPR Serius Bahas Revisi UU Pilkada

23

 

Sironline.id, Jakarta – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan serempak digelar tahun 2020 mendatang kembali menjadi sorotan. Pasalnya Pemerintah dan DPR sedang serius membahas revisi Undang-Undang Pilkada. Revisi ini akan mengubah sistem pilkada dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi melalui DPRD. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengatakan wacana penggantian sistem pilkada langsung tersebut karena alasan biaya politik yang ditanggung calon bisa sangat tinggi.

Mantan Kapolri ini berdalih, sesungguhnya kajian tentang pilkada langsung sudah dilakukan sejak kepemimpinan mantan Mendagri Gamawan Fauzi. Saat itu, kementerian mengklaim pelaksanaan pilkada langsung lebih banyak buruknya lantaran sering terjadi praktik politik uang. Karena tersandera politik uang itulah, banyak janji kampanye politik kepala daerah yang akhirnya tak terealisasi. Sebab kepala daerah, katanya, sibuk mencari cara mengembalikan “modal” yang disumbang oleh para “bandar”.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PPP, Arwani Thomafi, mengaku partainya sejak 2014 mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Selain karena diklaim menghemat biaya, juga menekan ongkos politik yang harus ditanggung calon kepala daerah. Kendati demikian, Ia meminta pemerintah memikirkan betul-betul rencana tersebut agar dibelakang tidak dianulir lewat Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) seperti di saat Susilo Bambang Yudhoyono memimpin. Kala itu pada 2014, pemerintah dan DPR sepakat mengganti tata cara pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Tapi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 itu ditentang publik dan akhirnya dibatalkan lewat Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.

Meski Komisi II DPR sudah berencana merevisi Undang-Undang Pilkada dan dimasukkan dalam prolegnas prioritas. PPP tidak akan langsung menyetujui wacana itu sebelum Mendagri memaparkan evaluasi dan kajian terbarunya. “Calon kepala daerah tingkat bupati atau wali kota yang ingin maju setidaknya harus mengantongi modal Rp15-Rp20 miliar. Uang itu habis terpakai untuk mahar politik kepada parpol, kampanye, dan membayar saksi ketika penghitungan suara,” katanya, Senin (18/11/2019).

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menambahkan salah satu pasal yang akan direvisi adalah terkait anggota dewan tidak perlu mundur jika mencalonkan sebagai kepala daerah. Anggota Fraksi Golkar itu menyebut pihaknya masih membahas kemungkinan aturan anggota dewan harus mundur diubah dan terkait sistem pemilihan langsung. “Tentang usulan bahwa akan ada dilakukan pilkada langsung, kemudian dengan usulan berkaitan dengan anggota DPR yang maju tidak perlu mundur harus cuti, itu sedang dibahas semua,” ujar Azis di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (15/11/2019).

Pada Pasal 7 Ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), bakal calon kepala daerah harus menyatakan telah mundur sebagai anggota DPR, DPRD, dan DPD. Sebagai catatan, pada Pilkada Serentak 2018, sejumlah anggota DPR maju sebagai calon kepala daerah. Seperti Ida Fauziah dari PKB yang maju sebagai cawagub Jateng, Viktor Laiskodat dari Nasdem yang maju sebagai cagub NTT, Benny K Harman dari Demokrat maju cagub NTT, sampai TB Hasanuddin dari PDI Perjuangan maju sebagai cagub Jabar. Mereka mengundurkan diri sebagai anggota DPR untuk maju pada Pilkada 2018

Perampasan Demokrasi

Menanggapi wacana revisi sekama Pilkada, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini meminta pemerintah dan DPR mengurungkan niat merevisi Undang-Undang Pilkada dengan mengganti sistem pilkada. Menurutnya pembahasan tentang hal tersebut sudah selesai pada 2014 dengan dibatalkannya pemilihan lewat DPRD oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya, calon kepala daerah tidak harus menanggung biaya politik yang besar jika partai politik tidak menerapkan mahar dan partai bisa mengajukan calon yang memiliki basis massa yang kuat. “Kalau tidak punya basis massa yang kuat, ya wajar uang jadi solusi untuk merebut suara rakyat,” ujarnya.

Perludem sudah lama mengajukan solusi kepada pemerintah dan DPR agar membuat aturan yang membatasi belanja kampanye demi meringankan beban calon kepala daerah, penguatan akuntabilitas dan penegakkan hukum terkait dana kampanye dan insentif untuk pembiayaan kampanye di mana negara mensubsidi biaya iklan di media massa dan pemasangan alat peraga. “Mestinya Kemendagri fokusnya di sana, gimana memfasilitasi instrumen itu agar bisa menjamin kompetisi yang jujur dan adil. Bukan solusinya memotong pilkada langsung. Kalau simpulannya melompat begitu, situasi yang lebih buruk yang akan terjadi,” katanya.

Lebih lanjut Titi mengatakan jika revisi UU Pilkada disetujui, rakyat sebagai pemilih bakal hilangnya hak warga negara dalam menentukan siapa pemimpinnya. Sebab demokrasi mengamanatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan. “Akuntabilitas dan transparansi proses pemilihan makin gelap. Karena itu hanya diputuskan segelintir orang yang sangat minim partisipasi warga dan sangat mungkin terjadi transaksional. Selain itu bisa memicu konflik jika keputusan yang diambil DPRD tidak sejalan dengan keinginan warga. Ujung-ujungnya melahirkan apatisme terhadap pemerintahan yang terbentuk,” tambahnya pada media Sabtu ((16/11/2019).

Sementara itu terkait wacana anggota DPR yang ikut dalam pilkada tak perlu mengundurkan diri, Titi mengatakan jika hal tersebut tidak memberikan pendidikan politik yang kurang baik pada publik dengan mengabaikan Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tanpa melalui prosedur dan alas hukum yang konstitusional. Seperti diketahui Putusan MK sudah mengatur anggota DPR, DPD dan DPRD yang ingin maju pilkada harus mundur.

“Suka atau tidak suka putusan ini mesti jadi pegangan semua pihak, termasuk pula DPR. Kalau ada pandangan berbeda soal substansi Putusan ini, bisa saja para pihak tersebut kembali menguji substansi Putusan ini ke MK dengan menyajikan argumen konstitusional terbaru yang dianggap lebih kuat, relevan, dan kontekstual untuk masa kini sehingga bisa mengesampingkan substansi Putusan MK terdahulu (Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015),” pungkasnya. D. Ramdani