Ketua MPR: Kebinekaan Adalah Elemen Pembentuk Bangsa

83

 

Sironline.id, Jakarta – SETARA Institute mengemukakan hasil riset tindakan radikalisme yang terus meningkat tiap tahunnya. Direktur Riset SETARA Institute Halili mebeberkan kurun 12 tahun terakhir telah terjadi 2.400 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dengan jumlah tindakan 3.177 yang tersebar di 34 provinsi. Jawa Barat menempati posisi pertama dengan 629 peristiwa, disusul oleh DKI Jakarta di posisi dua dengan 291 peristiwa, dan Jawa Tinur di posisi tiga dengan jumlah 270 peristiwa. Halili mengatakan aktor dari pelanggaran itu, ada dari negara dan pihak lainnya.

“Aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran dilalukan oleh kepolisian sebanyak 480 tindakan. Posisi kedua pemerintah daerah dengan 383 tindakan, serta posisi ketiga adalah Kementerian Agama sebanyak 89 tindakan. Sementara pelaku dari pihak lainnya paling banyak dilakukan oleh kelompok warga hingga 600 tindakan, ormas keagamaan 249 tindakan, MUI 242 tindakan, FPI 181 tindakan, dan beberapa pelaku lainnya,” terangnya dalam seminar bertajuk Merawat Kemajemukan Memperkuat Negara Pancasila: Agenda Nasional Promosi Toleransi pada Kepemimpinan Baru yang diselenggarakan SETARA Institute, di Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2019)

Lebih lanjut Halili mengatakan selama tahun 2016 Jakarta dan Bandung Raya ada 171 SMA Negeri menunjukkan terjadinya persoalan serius pada sisi toleransi siswa. 4,6 persen responden mendukung organisasi tertentu yang melarang pendirian rumah ibadah, 1 persen responden setuju terhadap gerakan ISIS, 11 persen responden setuju jika Indonesia dibangun berdasarkan khilafah dan 5,8 persen setuju mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Massifnya tindakan radikalime di Indonesia menjadi tantangan pemerintahan baru Republik Indonesia hasil Pemilu dan Pilpres 2019.

“Tentu kita semua tidak ingin, kondisi menguatnya intoleransi dan radikalisme menjadi alat penundukkan dan justifikasi tindakan politik pemerintah membatasi kebebasan sipil warga. Kita mesti beri obat penawar, penanganan intoleransi dan radikalisme dalam kerangka demokrasi dan hak asasi manusia,” tambahnya.

Dipenghujung perbincangannya, Halili mendorong Pemerintah untuk lebih serius memberikan jaminan paripurna bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan serta menghapus diskriminasi dan intoleransi sebagai legacy pemerintahan ini. SETARA Institute mendorong pemerintahan mengagendakan pengarusutamaan keberagaman atau kebinekaan dalam seluruh aspek tata kelola pemerintahan negara melalui pelembagaan pemerintahan inklusif.

“Presiden diharapkan dapat mengeluarkan regulasi presidensiil yang menginstruksikan agar seluruh kementerian dan lembaga mengimplementasikan kebinekaan yang menghimpun keanekaan latar belakang di berbagai aspek, termasuk kebinekaan agama. Hanya dengan pengarusutamaan pemerintahan inklusif, cita Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana menjadi sasanti Pancasila dapat diwujudkan secara sistemik,” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mengatakan mayoritas masyarakat Indonesia tetap memandang Pancasila sebagai pilihan ideal untuk jadi ideologi resmi. Menurutnya gejala intoleransi dan radikalisme tak sepenuhnya mewakili potret besar toleransi umat beragama di Indonesia. Senada dengan SETARA Institute, Ia menyampaikan sebuah survei pada 2017 menyebutkan, indeks kerukunan umat beragama masyarakat Indonesia masih mengedepankan toleransi walaupun secara statistik menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan studi tentang gambaran besar toleransi di Indonesia yang dilakukan peneliti luar negeri memperkuat hasil survei tersebut.

“Dalam beberapa studi penelitian luar menegaskan, Indonesia menjadi bukti bahwa agama tak menjadi faktor penghambat demokrasi. Malah menurutnya, semakin intens seorang beragama semakin besar kemungkinannya menerima nilai-nilai demokrasi dan toleransi,” terang pria yang akrab disapa Bamsoet ini.

Menurut Bamsoet, intoleransi sebagai cikal-bakal munculnya radikalisme yang berujung pada aksi terorisme harus diatasi secara sungguh-sungguh. Sebab, tumbuh suburnya sikap intoleran tergantung di lahan mana ia berkembang. Oleh karenanya, toleransi haruslah menjadi kebutuhan bagi semua elemen bangsa, karena kebinekaan adalah elemen pembentuk bangsa. Jadi, kebinekaan bukan hanya fakta sosiologis yang hanya diterima sebagai sesuatu yang given, tetapi harus terus-menerus dirawat.

“Jika ia hidup di tanah gersang maka sikap intoleransi sulit menemukan tempatnya. Sebaliknya, jika hidup di alam subur maka akan cepat berkembang,” tambahnya.

\Bamsoet menilai sikap intoleran di publik mengancam kemajemukan Indonesia dan ideologi Pancasila. Menurutnya, intoleransi berangkat dua masalah besar. Pertama, kelemahan Indonesia dalam mentransformasikan ideologi kebangsaan. Adapun yang kedua, Indonesia belum mampu mencegah gerakan kontra ideologi negara dalam berbagai aspek, termasuk isu radikalisme dan intoleransi.

Menurutnya toleransi harus menjadi sebuah kebutuhan. Ia menegaskan jika radikalisme adalah embrio lahirnya terorisme melalui kekerasan dan aksi-aksi yang ekstrim. Ciri terorisme tersebut adalah intoleransi, fanatik selalu merasa benar sendiri, eksklusifisme, hingga kekerasan dalam bentuk lain. Karena itu Bamsoet menegaskan bawah Presiden RI Joko Widodo memiliki komitmen tinggi untuk menjaga ideologi bangsa dengan membuat dua lembaga untuk pemantapan ideologi bangsa.

“MPR dan BPIP adalah dua lembaga yang harus bekerja sama dalam pemantapan ideologi bangsa dalam mengawal dan menumbuhkan keyakinan terhadap ideologi Pancasila,” katanya.

Di tempat yang sama, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo mengajak berbagai elemen bangsa untuk mengembalikan ekosistem Pancasila yang sudah hilang dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Romo Benny, setiap warga negara mempunyai tanggung jawab historis dan moral untuk menghidupi ekosistem Pancasila yang telah hilang yakni ekosistem yang menerima perbedaan dan keanekaragaman.

“Untuk mengembalikan ekosistem Pancasila ini harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak yang kemudian menjadikannya habituasi. Jadi, pendidikan Pancasila bukan lagi dengan cara doktrinisasi, tetapi dengan habituasi menanamkan pendidikan karakter kepada anak-anak untuk mengenal keragaman dan kemajemukan,” jelas Benny.

Menurutnya, hal pokok yang harus ditanamkan dan menjadi habituasi sedari dini dalam pendidikan karakater adalah mengajari perbedaan dan memberikan pemahaman bahwa berbeda itu saling melengkapi. “Guru dan orangtua harus membangun ekosistem Pancasila ini. Menghayati bukan didoktrin, tetapi bisa lewat dongeng, pembelajaran, kesenian, hingga permainan sehingga menjadi habituasi sejak dini sudah menghayati pancasila dalam hidup yang saling melengkapi,” tambahnya. D. Ramdani

 

Box:

Empat rekomendasi SETARA Institut:

  1. Pemerintah harus merancang, mengagendakan dan melakukan optimalisasi institusi pendidikan untuk membangun pendidikan yang bhinneka, terbuka dan toleran, serta berorientasi pada penguatan bangsa dan negara berbasis Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Pemerintah harus memposisikan aparatnya, khusus kepolisian dan pemerintah lokal (dari provinsi hingga desa/kelurahan) sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum, perlindungan seluruh warga, dan pembelaan dasar dan konstitusi negara.
  3. Negara harus menjamin penegakan hukum yang tegas dan adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
  4. Mengoptimalisasi fungsi edukasi, sosialisasi, dan literasi mengenai toleransi dan kerukunan serta pencegahan diskriminasi dan intoleransi melalui optimalisasi televisi, media sosial, dan media daring sebagai arena dan ruang diskursus.
  5. Memperkuat dan mengintensifkan inisiatif dan pelaksanaan dialog yang setara antar kelompok agama/keyakinan.