Indonesia Harus Waspada Risiko Start Up Unicorn

46

sironline.id, Jakarta – Perang antara Amerika Serikat (AS) dan China nampaknya makin memanas. Kedua negara mulai saling menerapkan tarif-tarif tambahan terhadap komoditas yang sudah berlaku efektif sejak awal September 2019 lalu. Pemerintah Trump mulai menerapkan tarif 15 persen terhadap impor barang dari China senilai lebih dari USD 125 miliar (sekitar Rp 1,7 triliun), termasuk pada pengeras suara canggih, pengeras suara praktis Bluetooth dan banyak jenis alas kaki.

Sebagai balasan, Beijing mengenakan tarif 5 persen atas minyak mentah AS mulai 1 September. Inilah pertama kalinya minyak AS dikenai tarif sejak kedua negara perekonomian terbesar dunia itu mulai melancarkan perang dagang lebih dari satu tahun lalu.

Presiden AS Donald Trump bulan lalu mengatakan dia akan meningkatkan tarif 5 persen senilai 550 miliar dolar (sekitar Rp7,8 triliun) atas impor barang-barang dari China setelah Beijing mengumumkan tarif pembalasannya terhadap barang-barang AS. Tarif 15 persen oleh AS atas telepon seluler, komputer jinjing, mainan dan pakaian akan mulai berlaku pada 15 Desember.

Bhima Yudhistira, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan efek negatif perang dagang adalah barang -barang dari China yang sebelumnya diekspor ke Amerika dialihkan ke negara- negara lain. Pengalihan barang ini justru banyak yang masuk ke Indonesia. Impor barang dalam beberapa bulan terakhir memang mengalami penurunan tetapi  impor dari China khususnya impor barang konsumsi bukan bahan baku untuk industri justru mengalami kenaikan. “Artinya  daripada barangnya menumpuk di gudang maka China lebih baik mengekspor barang dengan harga diskon ke negara yang penduduknya 260 juta orang. Ini artinya Indonesia jadi tempat sampah, masuknya salah satunya lewat e-commerce,” tegasnya.

“Indonesia jangan bangga dengan pertumbuhan ekonomi 5%. Sekarang ini resesi bisa membuat ekonomi suatu negara jatuh di bawah 0% seperti Hong Kong yang diperkirakan mengalami resesi dengan ekonominya bisa terancam di bawah 0%, dan Singapura juga sebentar lagi mengalami resesi ekonomi. Ini menjadi tantangan bagi Indonesia,” tambahnya.

Efek perang dagang lainnya menurutnya adalah memberi tekanan pada harga harga komoditas seperti minyak sawit, crude palm oil (CPO), batubara dan minyak mentah karena prospek ekspor minyak sawit, batubara, CPO, minyak mentah akan melambat di tahun 2020. Selain itu banyak perusahaan asing yang melakukan utang, dan yang terbaru lini produksi Mitsubishi Xpander kemungkinan akan pindah ke Vietnam atau Taiwan, dan disusul oleh perusahaan-perusahaan migas dengan berbagai alasan seperti kontrak migas berakhir. Ia melihat potensi bagi milenial ke depan adalah  ekonomi  jalan-jalan dengan berkembang pesatnya usaha di sektor pariwisata.

Ia juga minta pemerintah harus waspada terhadap perkembangan bisnis unicorn atau decacorn. Perusahaan start up yang sudah unicorn atau decacorn hidupnya dari suntikan investor, dan bisnisnya bakar uang suntikan para investor. “Kita mengkhawatirkan dengan kondisi ekonomi seperti sekarang. Banyak investor berasal dari negara -negara yang mengalami resesi ekonomi baik dari Eropa, Amerika maupun Jepang. Apa yang terjadi kalau investasinya macet? Karena ada perusahaan start up besar asal Amerika yaitu WeWork yang menyewakan tempat atau ruangan gagal melakukan initial public offering (IPO) atau gagal menjual sahamnya di pasar publik. Risiko jangka panjang kalau perusahaan tiba- tiba tutup maka akan banyak kerugian ekonomi dan pengangguran instan. Ini tren ke depan yang perlu diwaspadai,” ujarnya. (eka)