Kelas Menengah di Indonesia Mensubsidi Kelompok Kaya

21

sironline.id, Jakarta – Pemerintah menargetkan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2019 sebesar Rp 1.577 triliun. Sedangkan penerimaan pajak pada semester I sebesar Rp 603,34 triliun. Angka itu mencapai 38,25 persen dari target itu. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yakin target penerimaan pajak 2019 tercapai. Meskipun saat ini ekonomi Indonesia dalam tekanan yang cukup berat. Menurutnya, dalam APBN, target penerimaan selalu ambisius. Kemenkeu akan terus membuat target itu kredibel, dengan kondisi ekonomi dunia yang saat ini. Ekonomi kita menghadapi tekanan global yang sangat berat sehingga kinerja ekspor Indonesia menjadi tertekan. Hal ini juga akan berdampak pada ekonomi, termasuk penerimaan negara.

Pajak penghasilan masih menjadi sumber utama pertumbuhan penerimaan pajak hingga akhir semester I tahun 2019 dengan nominal Rp 376,32 triliun. Penerimaan kedua diikuti penerimaan pajak dari sektor nonmigas sebesar Rp 346,16 triliun, PPN dan PPn BM dengan nominal Rp 212,32 triliun, sektor migas Rp 30,16 triliun, serta PBB dan pajak lainnya sebesar Rp 14,70 triliun. Jika dibandingkan dengan semester I 2018, penerimaan pajak tumbuh 3,75 persen.

Pengamat perpajakan yang juga Direktur Eksekutive Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai tantangan ekonomi saat ini ada dua anomali saat ini yaitu suku bunga rendah tapi investasi tidak naik. Hal ini baru pertama kali dialami Indonesia. Anomali kedua untuk pertama kalinya pengangguran rendah tetapi inflasi rendah. Kalau dulu ketika pengangguran rendah maka inflasi akan naik. Kalau sekarang inflasi terjaga di bawah 4%. “Kita memasuki babak baru ekonomi yang perlu kehati-hatian,” jelasnya di acara Kaukus Muda Indonesia bertema Membaca Prospek Ekonomi pada Selasa, 29 Oktober 2019 di Jakarta.

Selama 10 tahun terakhir Indonesia selalu mengalami masalah defisit neraca perdagangan.  Ia menilai selama impor dikurangi tapi tidak ada  substitusi yang sebanding maka akan menyebabkan high cost economy dan kalau harga mahal yang rugi adalah konsumen. “Problem kita bukan stop impor tapi bagaimana impor  diarahkan pada industri yang outputnya lebih besar dibanding nilai impor,” tambahnya.

Ia nemambahkan suku bunga di luar negeri sebenarnya murah bahkan sampai negatif, tetapi problem kita adalah belum bisa menghasilkan devisa lebih tinggi dibanding biaya untuk utang.  Di kawasan ASEAN, penetrasi sektor finansial kita seperti Bank Rakyat Indonesia peringkat keempat di ASEAN, tetapi masih kalah dibanding Singapura. Artinya masih dangkal sekali pasar keuangan kita. “Foreign Direct Investment (FDI) kita sebenarnya bagus, masuk 20 besar negara dengan FDI tinggi di dunia. Problem kita bukan kekurangan modal masuk, tapi biaya modal kita tinggi karena banyak sekali ongkos yang timbul sehingga tidak efisien,” jelasnya.

Begitu pun dalam 10 tahun terakhir penerimaan pajak tidak pernah tercapai karena penerimaan pajak kita masih  bergantung pada sektor komoditi. Jika harga batubara, sawit, minyak bumi naik maka penerimaan pajak baru akan naik. “Di Indonesia orang kaya masih enggan bayar pajak itu problem kita. Presiden Jokowi sudah memberikan tax amnesty di periode satu dan sekarang malah mau memberikan tax amnesty jilid dua. Di Indonesia kelas menengah mensubsidi kelompok kaya karena penerimaan pajak kita banyak berasal dari pajak penghasilan 21 (PPh 21)  atau pajak karyawan, bukan pph non karyawan,” paparnya.

Tantangan selanjutnya menurutnya adalah kita belum banyak bisa mengontrol ekonomi kita sendiri. Ada problem dalam kebijakan pemerintah, kini saatnya fiskal dan moneter disinergikan dan saling mendukung.(eka)