Sektor Industri Masih Menjadi Titik Lemah Ekonomi

494

sironline.id, Jakarta – Di acara “Dialog 100 Ekonom bersama Wapres Jusuf Kalla” yang diselenggarakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Paramadina Public Policy Institut (PPPI) pada 17 Oktober 2019 di Jakarta, ekonom senior Indef Didik J. Rachbini memberikan beberapa catatan di bidang ekonomi selama pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Di hadapan Jusuf Kalla, Didik mengatakan pentingnya pemerintah untuk blusukan khusus ke industri-industri karena di sanalah titik lemah ekonomi kita. Jika di sana selesai, maka pertumbuhan ekonomi bisa lebih baik, meskipun tidak bisa menyamai pertumbuhan pada periode 1970-1997, yang tinggi sampai setingkat 7,1 persen rata-rata.

Hal paling krusial yang harus diselesaikan saat ini menurutnya adalah daya saing Indonesia yang lemah. Kemampuan ekspor sangat lemah dan tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan lain-lain. Defist neraca berjalan terus berlangsung, neraca jasa berat karena defisit neraca jasa angkutan dan defisit pendapatan primer sangat tinggi. Sekarang bertambah lagi beban neraca perdagangan semakin lemah. Itu karena kekuatan industri luluh lantak dan kita hanya berdagang komoditi ala jaman colonial.

Ia juga menyoroti kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di sisi pengeluaran yang boros dan populis. Menurutnya, kebijakan ekonomi hanya membagi-bagi kartu dan menebar uang tanpa melihat sisi produktivitasnya. Anggaran transfer ke daerah sampai Rp700 triliun habis 80-90% hanya untuk biaya rutin gaji pegawai, kantor, transportasi. “Banyak pos anggaran atau tepatnya puluhan ribu item yang boros dan sangat tidak produktif sangat sulit untuk ditertibkan, kecuali ada kepemimpinan yang baik,” ujarnya.

Menurutnya ekonomi dan kebijakan anggaran memerlukan kepemimpinan ekonomi yang tidak biasa. Jika tidak ada kepemimpinan ekonomi, maka APBN akan dicabik-cabik secara politik sampai tersisa ampas yang tidak bisa masuk ke proses produktif.

Di bidang hukum dan ekonomi, APBN dalam implementasinya juga akan menghadapi tantangan sangat berat, karena telah terjadi pelemahan KPK dengan Undang-undang KPK yang telah direvisi. “Pengawasan terhadap APBN dan korupsi dalam implementasinya adalah hal yang lebih krusial di masa mendatang karena pengawasan lebih lemah pada saat ini,” ujarnya.

Menurutnya perubahan UU KPK dengan cara gerilya dan tertutup telah menimbulkan masalah baru, tidak hanya dalam bidang ekonomi tapi juga dalam bidang politik, terutama ketegangan antara masyarakat, mahasiswa, media massa yang menentang revisi UU KPK dengan pemerintah dan DPR. Masalah politik ini masih akan terjadi sampai beberapa bulan mendatang. “Itulah concern para akademisi, para ekonom, termasuk concern ekonom senior Prof Emil Salim, yang juga hadir ikut turun gunung,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, JK  mengatakan untuk menilai kondisi perekonomian Indonesia harus menilai secara keseluruhan. Mulai dari kondisi ekonomi global, efeknya kepada Indonesia, dan hasil akhirnya. “Kalau kita berbicara tentang ekonomi Indonesia tentu tidak lengkap kalau kita tidak berbicara ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Kita juga harus melihat apa korelasi sistem ekonomi di dunia kepada Indonesia,” jelasnya.

Menurutnya, sistem ekonomi dunia saat ini mengalami perubahan besar-besaran. Pasalnya, perusahaan raksasa di dunia tak lagi perusahaan yang berkecimpung dalam sektor energi atau keuangan seperti Saudi Aramco, Exxon, atau pun Citibank. “Dan apa efeknya kepada kita maka tentu akan menjadi suatu perubahan di dunia. Teknologi, climate change berubah semuanya. Dulu bisnis atau perusahaan itu energi, Exxon, Aramco dan sebagainya, atau perbankan seperti Citibank segala macam. Itulah multi nasional company yang hebat.”

JK menilai perusahaan-perusahaan raksasa dunia justru yang berkecimpung dalam ekonomi digital seperti Facebook, Apple, Microsoft, Amazon, dan sebagainya. Ini perubahan besar dan mendasar yang harus dilihat di sekarang dan masa depan. “Sekarang pengusaha yang paling besar dan yang paling kaya Microsoft, Apple, Amazon, Facebook. Artinya, energi dikalahkan oleh digital economy. Jadi perkembangan-perkembangan itu yang terjadi di dunia yang kemudian mengubah gaya ekonomi dunia dan efeknya kepada kita,”

Ia juga menyinggung soal konflik di berbagai belahan dunia baik Brexit, perang Dagang AS-China, konflik Korea dan Jepang, dan sebagainya. Indonesia yang merupakan negara di Asia Tenggara punya pilihan untuk mengambil keuntungan dalam berbagai konflik tersebut atau justru ikut mengalami kerugian. “Asia Tenggara mempunyai dua kemungkinan, bisa mencari keuntungan dari trade war atau mengalami kerugian dari trade war,”

Ia khawatir perlambatan ekonomi dunia akan berdampak pada ekonomi Indonesia. Pasalnya, Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memangkas pertumbuhan ekonomi global menjadi tiga persen. Perekonomian kita bisa tumbuh di bawah lima persen kalau tidak ada tindakan tegas. Pemerintah tetap harus mewaspadai kemungkinan berlanjutnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Selama Donald Trump masih menjadi Presiden, ekonomi global akan sulit merekah.

Ia menilai ekspor dan investasi menjadi kunci untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global tersebut. Dua indikator ini sedang digenjot pemerintah, baik dari sisi perbaikan regulasi maupun pemberian insentif fiskal. “Kita harus perhatikan. Ke depan bagaimana meningkatkan investasi. Ada tax holiday, tax allowance,” tambahnya.

Ia juga menegaskan bahwa tidak terjadi deindustrialisasi di Indonesia saat ini. Meski sektor industri mengalami penurunan dari segi presentase terhadap pertumbuhan ekonomi namun ia mengungkapkan sektor industri masih terus berkembang. “Ekonomi (secara keseluruhan) memang lebih cepat berkembang, tapi industri juga ikut berkembang. Jadi sektor industri kita berkembang cuma lebih rendah dari yang lainnya. Ini bukan deindustrialisasi,” tegasnya.

Ia mengakui saat ini beberapa sektor industri memang mengalami perlambatan. Akan tetapi ada beberapa sektor industri justru berkembang sangat pesat. Secara nominal menurutnya sektor tersebut memberi sumbangan yang cukup tinggi terhadap ekonomi nasional. “Memang dari segi presentase itu menurun tapi yang lain itu naik. Kan persentase itu 100% yang naik itu di pertambangan, mineral dan sawit itu naik.”

Ia menekankan masih banyak hal yang harus diperbaiki untuk meningkatkan ekonomi nasional terutama pada perijinan. Menurutnya masalah perijinan di Indonesia memang masih cukup rumit namun dengan kehadiran Online System Submission (OSS) sejak 6 bulan yang lalu sudah ada dampak membaiknya sistem perijinan di Indonesia.

Menurutnya banyak tantangan yang harus kita atasi seperti penurunan ekspor, juga bagaimana kita meningkatkan investasi dan sebagainya. Tingkatkan kemampuan generasi muda di bidang teknologi dan lain-lain, agar terjadi daya saing kuat.Jika Indonesia ingin terlepas dari middle income trap maka harus memprioritaskan produktivitas, pengembangan teknologi serta kualitas SDM.