CORE: Pasar Surat Utang Negara Rentan Sudden Capital Outflow

138

sironline.id, Jakarta – Pemerintah kembali mencari pinjaman sebesar Rp 15 triliun melalui lelang Surat Utang Negara (SUN) pada Selasa (8/10/2019). Siaran pers Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan menyebutkan  pinjaman itu digunakan untuk memenuhi sebagian dari target pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Pinjaman melalui lelang SUN ini sudah kesekian kalinya pada tahun ini. Ada 7 seri surat utang yang dilelang yakni SPN12200106, SPN12201009, FR0081, FR0082, FR0080, FR0079 dan FR0076. Jadwal jatuh temponya mulai dari 6 Januari 2020 hingga 15 Mei 2048.

Lelang akan dilaksanakan dengan menggunakan sistem pelelangan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagai agen lelang secara terbuka dan dengan metode beragam.  Semua pihak, baik investor individu maupun institusi, dapat menyampaikan penawaran pembelian dalam lelang melalui peserta lelang yang sudah disetujui Kementerian Keuangan.

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet  menilai kalau kita lihat kinerja APBN sampai dengan Agustus 2019, pertumbuhan belanja negara mencapai 7% tapi di sisi lain pertumbuhan penerimaan negara tidak bisa mengejar pertumbuhan belanja, karena pertumbuhan penerimaan negara hanya mencapai 3%. Kondisi ini akhirnya berdampak pada melebarnya defisit anggaran sampai dengan Rp 199 triliun, lebih besar dibandingkan defisit anggaran pada periode yang sama tahun lalu yaitu Rp 151 triliun. Akhirnya dengan kondisi demikian, pemerintah perlu menerbitkan surat utang untuk menutup gap pembiayaan yang tidak bisa disediakan oleh pos penerimaan negara karena faktor ekonomi global dan domestik.

Kalau melihat dari sisi pendalaman pasar keuangan, dampak penerbitan surat utang ini merupakan sesuatu yang positif karena surat ini utang ini diterbitkan melalui ritel artinya masyarakat umum bisa turut serta membeli surat utang ini. Jadi masyarakat mempunyai pilihan untuk memulai instrumen investasi selain deposito dari perbankan. Apalagi surat utang ritel ini bisa dengan mudah diperoleh melalui bank ataupun aplikasi-aplikasi investasi dalam jaringan (daring) yang beredar di internet.

“Namun kalau kita lihat dari struktur pasar surat utang sendiri yang saat ini sekitar 38% masih dimliki asing, artinya pasar surat utang negara masih sangat volatile sehingga sangat rentan terhadap apa yang disebut sudden capital outflow atau pelarian arus modal secara tiba-tiba apabila terjadi gejolak ekonomi global. Jika ini terjadi, selain pasar surat utang negara yang terdampak juga akan mempengaruhi terhadap pergerakan nilai tukar,” jelasnya.

Di sisi lain, ia menilai konsekuensi pemerintah untuk menerbitkan/ menambah surat utang baru ialah semakin ketatnya perebutan likuditas di pasaran. Hal ini berdampak dana masyarakat banyak terserap ke pemerintah dan pihak lain dalam hal ini swasta, kesulitan mendapatkan. Fenomena ini juga sering dikenal dengan crowding out effect.

“Ketika kesulitan mendapatkan dana dari masyarakat untuk melakukan ekspansi akhirnya swasta harus melakukan utang dari luar negeri. Inilah yang kemudian menjelaskan kenapa setidaknya dalam 5 tahun terakhir pertumbuhan utang luar negeri swasta meningkat secara bertahap. Peningkatan utang luar negeri swasta tentu bukan tanpa resiko, salah satu resikonya ialah perubahan nilai tukar yang bisa sangat berubah secara cepat, apalagi jika utang luar negeri swasta ini tidak dilindungi dengan fasilitas lindung nilai (hedging),” pungkasnya.