Ratusan Aduan Kekerasan, KontraS: Kepolisian Gagal Tangani Aksi Unjuk Rasa

86
KontraS- Kepolisian gagal tangani aksi unjuk rasa

Sironline.id, Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) serta Tim Advokasi untuk Demokrasi menerima 390 aduan terkait penanganan brutal aksi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR, Jakarta, pada 24, 25, dan 30 September 2019.

Staf Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS Rivanlee Anandar mengatakan jumlah pengaduan tersebut ditampung hingga Kamis (3/10/2019) pukul 21.00 WIB. “Kami menerima 390 orang yang melaporkan melalui berbagai medium tersebut dengan mayoritas yang dilaporkan 201 mahasiswa, 50 pelajar, warga 28 orang, karyawan 13 orang, ojol 1 orang, dan 51 orang tidak diketahui profesinya. Pengaduan masyarakat tersebut diterima sejak 25 September 2019 baik pengaduan langsung, telepon, pesan singkat, surat elektronik, pesan berantai, dan tagar #HilangAksi di Twitter,” papar Rivanlee dalam jumpa pers di Kantor KontraS, Jalan Kramat, Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat (04/10/2019).

KontraS mencatat perlakuan brutal polisi yang diadukan dengan peringkat paling banyak soal penganiayaan dengan 60 aduan, penggunaan gas air mata 61 aduan, dan penangkapan 19 aduan serta 4 pelemparan batu. Perlakuan lainnya yang masuk dalam daftar aduan adalah pengeroyokan, penangkapan, pelemparan batu, penggunaan peluru karet, dan penggunaan peluru tajam. Sementara itu di lokasi tempat kejadian 150 kasus kekerasan dari pengaduan tersebut terjadi di kawasan DPR, seperti dengan rincian di depan Gedung DPR 62 aduan, kawasan Palmerah 19 aduan dan Senayan 13 aduan, sisanya terjadi di depan gedung DPRD masing-masing provinsi.

Rivanlee, menyebutkan hasil verifikasi tim advokasi dari sebagian pengaduan, ditemukan ada korban demonstrasi berujung rusuh itu yang mengalami luka-luka robek, memar hingga bocor di kepala. Atas pengaduan tersebut, tim advokasi akan menawarkan bantuan hukum nantinya. Menurutnya untuk mendata bentuk kekerasan ataupun peristiwa kekerasan yang terjadi di lapangan selama aksi tidaklah mudah. Banyak pelapor enggan mengungkap peristiwa saat itu. Padahal, banyak foto-foto menunjukan adanya lebam dan memar di tubuh masa usai aksi demo.

“Ini kesulitan kami karena tidak semua mau bicara,” ungkapnya.

KontraS mengingatkan agar aparat tidak represif tiap kali adanya unjuk rasa. Ia bersama Tim Advokasi Demokrasi mengkritik keras penggunaan gas air mata, peluru karet, serta aksi pengeroyokan oleh aparat saat mengamankan demonstrasi. Ratusan aduan masyarakat dan berbagai temuan di lapangan jadi bukti kepolisian gagal menangani aksi unjuk rasa berskala besar. Karenanya, KontraS menuntut ada evaluasi dari kepolisian secara transparan.

“Polri agar melakukan proses evaluasi dan audit atas perilaku anggotanya di lapangan yang terbukti melakukan pelanggaran agar mereka mempertanggungjawabkan perbuatannya secara etik maupun pidana atas penanganan aksi massa 23-30 September 2019,” katanya.

Sementara itu, Tim Advokasi Demokrasi dari Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan pihak kepolisian mempersulit tim advokasi dan pihak keluarga untuk bertemu dengan orang-orang yang ditangkap saat kerusuhan pasca demonstrasi di DPR.

“Kami dipersulit termasuk keluarga-keluarga yang ingin menemui anggota keluarganya yang ditahan,” ujar anggota tim Advokasi Demokrasi, Arif Maulana.

Menurutnya, saat pihak keluarga ingin menemui anggota keluarganya kerap dioper oleh polisi dari unit satu ke unit lain. Padahal, ada keluarga yang sudah datang dengan surat panggilan, tapi tetap dipersulit. Tak hanya itu, selaku tim advokasi yang akan memberikan bantuan hukum juga kesulitan untuk mendapatkan dan mengakses informasi terkait data-data orang yang ditangkap saat kerusuhan, padahal dalam KUHP pasal 60,61 tersangka sekali pun berhak dijenguk oleh keluarga, dan di pasal 54 tersangka sekali pun berhak mendapatkan bantuan hukum.

“Tapi saat ini kami dan beberapa keluarga tidak bisa bertemu dengan orang-orang yang ditangkap polisi,” jelasnya.

Di tempat terpisah, Anggota Tim Advokasi untuk Demokrasi Era Purnamasari menduga ada pelanggaran HAM karena tertutupnya akses bagi kuasa hukum untuk memberi bantuan hukum bagi pelajar dan mahasiswa yang ditangkap.

“Kita meminta Komnas HAM untuk datang turun memastikan ada akses-akses dan lebih jauh melakukan penyelidikan terhadap berbagai dugaan pelangggaran HAM yang terjadi sepanjang aksi-aksi unjuk rasa sejak tanggal 24 sampai 30 September kemarin. Sekarang kan hanya ada jumlahnya, tapi siapa yang ditangkap entitasnya dari mana, terus atas alasan-alasan apa ditangkap dan statusnya sekarang seperti apa kita kan tidak pernah tahu,” ujar Era di Kantor Komnas HAM, Rabu (02/10/2019).

Era dan kawan-kawan juga menyoroti aksi represif yang dilakukan aparat terhadap demonstran. Menurutnya yang dilakukan aparat tidak lagi sekadar membubarkan massa melainkan penyisiran dan pemburuan. “Ada yang ditangkap sudah jauh dari jangkauan tempat aksi masih dilakukan penangkapan. itu kan sudah melanggar prosedur, dan kita tidak tahu ini standar apa yang dipakai oleh polisi dan ini mesti dicek oleh Komnas HAM,” katanya.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam berjanji menelusuri aduan tersebut. Menurutnya, Komnas HAM sebetulnya sudah bertemu dengan Polda Metro Jaya untuk menyelesaikan polemik yang ada.

“Harusnya memang ada follow up dan sebagainya, tapi belum ada update. Katanya mau ada posko bersama untuk mempermudah akses dan sebagainya cuma posko bersamanya kok gak ada kabar,” katanya.

Polda Metro Jaya sebelumnya mengklaim telah menangkap 1.365 orang yang berunjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR Jakarta. Dari jumlah tersebut, 380 tersangka, dan 179 ditahan. Ratusan tersangka yang ditahan berasal dari berbagai wilayah di antaranya Depok, Bekasi, Jawa Tengah, Jawa Barat hingga Sumatera. Sebagian pedemo yang sempat ditangkap Polda Metro Jaya sudah dipulangkan kembali ke orangtuanya. D. Ramdani