Lemahnya Penegakan Hukum Jadi Problem Utama Investasi

133

Sironline.id, Jakarta – Lembaga pemeringkat global, Standard & Poors (S&P) menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi ‘BBB’ dari ‘BBB-‘. S&P juga meningkatkan rating utang sovereign jangka pendek dari ‘A-2’ ke ‘A-3’. Hal ini membuat Indonesia semakin menjadi negara yang layak untuk investasi. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan status layak investasi Indonesia dari Standards & Poors (S&P).

Peneliti senior INDEF Enny Sri Hartati mengatakan predikat ini menunjukkan Indonesia sangat prospektif dan menawarkan keuntungan investasi, namun dalam realisasinya kurang. Dari 33 perusahaan terbuka asal China yang memutuskan untuk pindah dari negeri tersebut, tak ada satupun dari perusahaan yang memilih Indonesia sebagai tempat untuk berinvestasi. Perusahaan yang terdaftar di bursa saham China itu justru lebih memilih merelokasi pabriknya ke Vietnam, Thailand, bahkan Meksiko.

“Salah satu problem utama yang menjadi keluhan investor adalah ketidakpastian regulasi dan berbelitnya perizinan. Atau tidak ada law enforcement, artinya banyak praktek kongkalingkong antara penguasa eksekutif, legislatif dan pengusaha yang membuat Standard Operating Procedure (SOP) tidak berjalan. Pemerintah juga telah memberlakukan Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (online single submission atau OSS). Ini tidak berjalan karena ada ruang yang memungkinkan ada kolaborasi antara pengambil kebijakan sehingga minat investasi di Indonesia kurang,” paparnya di acara bertema Urgensi Pemberantasan Korupsi Bagi Perekonomian, Investasi dan Perbaikan Fiskal, di Jakarta Rabu (18/9/2019).

Enny juga menilai bahwa realisasi dari persetujuan investasi selalu tidak pernah lebih dari 40%. Seperti  di tahun 2017 dan 2018 ada hampir dua ribu triliun persetujuan investasi namun realisasinya tidak pernah lebih dari Rp 500 triliun. Ini membuktikan investor sangat sulit merealisasikan investasinya di Indonesia.

“ Tidak ada kepastian berapa lama investor mengurus ijin sampai selesai,  begitu juga kepastian memperoleh lahan. Hal paling mendasar adalah kepastian, sehingga kepastian hukum memberikan shock therapy,” tambahnya.

Enny juga menyoroti revisi UU KPK terkait pembatasan kewenangan penyadapan yang harus seijin Dewan Pengawas. “Hampir semua kepala daerah atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kena operasi tangkap tangan KPK berkaitan dengan kasus penyalahgunaan keuangan negara.  Modusnya sekarang tidak langsung ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tapi dagang pengaruh.  Sekarang semua penyelidikan KPK kalau untuk melakukan penyadapan harus seizin yang selama ini menjadi sasaran KPK. Lalu bagaimana mungkin kita menghasilkan penegakan hukum yang independent,” tegasnya.

Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi UGM yang juga hadir di acara tersebut mengatakan potensi korupsi di sektor migas sebenarnya cukup besar, namun tidak sebanyak anggota DPR dan Kepala Daerah yang Sudha dijerat oleh apparat hukum termasuk KPK. Hanya beberapa pelaku yang berhasil dicokok oleh apparat hukum diantaranya mantan direktur utama Pertamina, dua orang mantan Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dan barusan KPK menetapkan mantan Direktur Petral sebagai tersangka.

“Sedikitnya pelaku tersangka bukan tidak ada potensi korupsi di sektor migas. Setelah lebih 4 tahun dilakukan penyidikan dan penyelidikan, KPK baru bisa menetapkan mantan Direktur Utama Petral sebagai tersangka suap pengadaan impor crude dan BBM. Kerumitan itu disebabkan potensi korupsi di miigas melibatkan mafia migas, korporasi internasional dan lokasi terjadinya korupsi di luar territorial Indonesia,” jelasnya. (eka)