Petieskan Kasus Munir, KontraS Laporkan Presiden Jokowi

51

Sironline, Jakarta – Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menyatakan bakal melaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ombudsman maupun pengadilan. Hal itu dilakukan jika tak kunjung membuka dokumen hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib yang dipetieskan selama 15 tahun. Selain melapor ke Ombudsman, Yati juga membuka kemungkinan menggugat ke pengadilan karena kasus Munir tak juga mendapat kepastian hukum.

“Untuk langkah hukum kita bisa saja laporkan presiden ke Ombudsman karena dalam hal ini presiden melakukan malaadministrasi karena sebagai kepala pemerintahan sudah sekian tahun tidak umumkan TPF Munir ke masyarakat. Kita bisa saja ajukan gugatan perbuatan melawan hukum karena 15 tahun tidak ada kepastian hukum,” ujar Yati di kawasan Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (07/09/2019).

Menurutnya pembiaran terhadap kasus ini memberikan banyak kerugian bukan hanya kepada keluarga Munir namun juga masyarakat umum. Sementara, menurutnya, Jokowi mestinya dapat dengan mudah membuka dokumen TPF tersebut.

“Kami mengingatkan Presiden Jokowi di periode kedua kepemimpinannya sangat mungkin dan sangat bisa kalau dia punya kemauan dengan cara yang sangat mudah mengumumkan hasil TPF Munir dan menindaklanjuti rekomendasi di dalamnya,” katanya.

Ia menilai janggal dengan alasan pemerintah yang menyebut dokumen itu hilang. Padahal sejak lama TPF telah memberikan dokumen hasil penyelidikan itu kepada pihak Kementerian Sekretariat Negara. Di sisi lain, dokumen itu cukup mudah dicari di internet. “Kami saja punya dokumen ini. Kalau memang tidak valid, silakan cek dan silakan diumumkan. Soal validitas pemerintah yang harus membuktikan,” ucap Yati.

Dalam dokumen TPF itu telah menjelaskan secara rinci kronologis kasus Munir sejak awal hingga siapa saja pihak yang terlibat. Dokumen itu, kata dia, juga menjabarkan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah, di antaranya melakukan penyidikan lebih dalam kepada Indra Setiawan, Ramelga Anwar, AM Hendropriyono, Muchdi PR, dan Bambang Irawan.

“Pemerintah harus mengumumkan ke publik karena ini adalah pesan moral yang penting dari masyarakat sipil. Ini satu alarm buat pemerintah untuk tidak lagi menunda mengumumkan hasil dokumen TPF Munir dan menindaklanjutinya,” tuturnya.

Yati sendiri mengaku kecewa dengan sikap Jokowi yang dinilai tak tegas untuk mengusut kasus Munir. Di periode pertama kepemimpinan, Jokowi sempat menjanjikan bakal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat termasuk kasus Munir. Namun di periode yang akan datang, kata Yati, Jokowi justru sama sekali tak menyinggung soal kasus tersebut.

“Buat saya, ini kemunduran dan harusnya presiden sadar betul sehingga di periode pemerintahannya yang kedua, dia harus betul-betul mengevaluasi dan menjadikan persoalan ini sebagai prioritas yang harus diselesaikan,” ucapnya.

Pengadilan sempat menjerat mantan pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Prijanto dengan vonis 14 tahun. Namun, ia dinyatakan tak bersalah di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA). Kendati begitu, majelis hakim tetap menjatuhkan vonis bui bagi Pollycarpus selama dua tahun karena terbukti menggunakan surat dokumen palsu untuk menyatakan diri sebagai kru tambahan Garuda Indonesia.

Dengan surat itu, Pollycarpus kemudian menawarkan kursi kelas bisnisnya untuk ditempati oleh almarhum Munir. Kendati sempat dicurigai anggota Badan Intelijen Negara (BIN), namun Pollycarpus tetap bebas murni dari penjara pada 29 Agustus 2018 lalu. Ia membantah terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Munir.

Munir merupakan aktivis HAM yang sangat vokal. Laki-laki kelahiran Malang tahun 1965 itu sering berdiri di barisan paling depan dalam menyuarakan ketidakadilan. Munir kehilangan nyawa ketika dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004. Kematiannya dilingkupi misteri dan teori konspirasi yang belum bisa dibuktikan hingga kini. Lalu, mengapa sulit untuk mengungkap kasus pembunuhan yang menimpa dirinya. Berdasarkan hasil otopsi, Munir tewas akibat racun arsenic

Istri mendiang Munir, Suciwati dan para aktivis HAM lainnya kemudian tetap rutin menggelar aksi Kamisan di depan Istana Negara. Dalam keterangan pers di kantor KontraS pada Jumat (06/09/2019), Suciwati mengatakan aksi Kamisan bisa dihentikan, asal negara mampu menyelesaikan kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM tersebut.

“Kalau Presiden menyatakan akan membuat pengadilan HAM dan mulai membawa para penjahatnya ke pengadilan, saya pikir selesai aksi Kamisan. Tapi, kalau masih belum dan para penjahatnya justru ada di sekitar Presiden ya bagaimana mungkin Kamisan itu berhenti,” tutur Suciwati

Sudah sejak lama, publik mengkritik pemerintah yang dianggap tak serius dalam menyelesaikan kasus pembunuhan Munir, termasuk untuk membuka misteri di mana dokumen TPF sekarang berada. Suciwati pun mengaku kecewa terhadap Presiden Joko “Jokowi” Widodo, lantaran janjinya untuk mengungkap dalang di balik kematian Munir tidak juga terealisasi.

“Ternyata lima tahun itu, tidak ada action, akhirnya kami kembali bergerak untuk mengatakan bahwa ini harus didorong, mungkin harus dengan strategi yang cukup keras,” kata dia lagi. (D. Ramdani)