Rizal Ramli: BPJS ‘Dirancang’ Gagal Sejak Awal

48

Sironline.id, Jakarta – Keputusan Pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2020 sebagai langkah mengatasi defisit, menuai banyak kritikan masyarakat. Seperti diketahui, BPJS Kesehatan terus tekor sejak 2014. Bahkan, tahun 2019 ini defisit diperkirakan mencapai Rp 32,84 triliun.

Tak tanggung, pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan lebih dari 100 persen itu dinilai sebagai strategi yang salah kaprah. Betapa tidak kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 dan kelas II dari Rp 51.500 menjadi Rp 110.000 dan kelas 3 dari 25.500 menjadi Rp 42.000. Komisi IX dan XI DPR RI sudah melakukan rapat bersama Kementrian keuangan. Hanya saja wakil rakyat itu menolak kenaikan iuran untuk kelas 3, ini artinya DPR setuju kenaikan BPJS untuk kelas 2 dan 1.

Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli mengkritik pemerintah yang dinilai tidak canggih dalam menyelesaikan masalah defisit BPJS Kesehatan yang telah tekor dari tahun pertama didirikan. Menurutnya, Jika pemerintah bisa menekan pos pembayaran bunga utang dari Surat Utang Negara dengan bunga lebih tinggi 2% yang tiap tahunnya mencapai Rp 300 triliun, seharusnya tak sulit bagi pemerintah menutup defsit BPJS Kesehatan yang hanya Rp 32 triliun tersebut.

Dirancang Gagal

Menurutnya BPJS kesehatan dirancang untuk gagal secara finansial sejak dibentuk. Tak heran, hingga kini, masalah defisit anggaran tak pernah lepas dari lembaga ini. “Ini bisa dikatakan ‘sengaja’ dirancang untuk akhirnya gagal financial. Ingat ya, ini tanda kutip. Dan ini yang harus kita benahi,” katanya.

Kegagalan finansial yang dimaksud Rizal terlihat dari sejumlah indikasi. Pertama, sejak awal pemerintah sudah ogah-ogahan membentuk BPJS Kesehatan. Hal ini, terlihat dari pernyataan pemerintah pada 2009 hingga 2014 yang menyebut Indonesia belum perlu memiliki Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), meski aturannya diteken sejak 2004. Waktu itu, Indonesia dianggap belum mampu membiayai SJSN “Padahal Rusia dan Skandinavia sudah membuat SJSN pada tahun 1860-an, yang mana mereka jauh lebih miskin dari Indonesia pada tahun 2010,” ujarnya

Kedua, Rizal mengindikasi kesengajaan pemerintah membuat BPJS gagal ditinjau dari modal awal yang diberikan pemerintah sebesar Rp5 triliun. Angka ini dinilai Rizal sangat kecil untuk menutupi jaminan sosial di Indonesia. Selain itu, biaya premi yang ditetapkan pemerintah sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan yang ada. Awal terbentuk, pemerintah membebankan 1 persen dari pendapatan kepada pekerja dan 4 persen kepada perusahaan. “Padahal di negara lain Singapura pekerja kontribusi 6 sampai 8 persen dan perusahaan dikenakan 13 persen, di Malaysia sama begitu,” tambahnya.

Menteri Keuangan Era Presiden Abdulrahman Wahid (GusDur) ini juga menyinggung rencana Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang akan mengundang perusahaan asuransi asal China, Ping An Insurance dalam menyelesaikan persoalan yang membelit BPJS Kesehatan. Ia menyebut Luhut lebih pantas menjadi duta besar kehormatan China.

Pasalnya semua hal yang diusulkan Luhut selalu berkaitan dengan China. Menurutnya keikutsertaan perusahaan asal China memiliki potensi bahaya yang bisa mengancam kedaulatan nasional. Pasalnya perusahaan tersebut bisa  leluasa mengakses data masyarakat yang mengikuti BPJS Kesehatan. Hal ini sama saja dengan menyerahkan leher rakyat kepada pihak China.

“Di era digital seperti saat ini, siapa yang bisa menguasai data itulah pemenangnya,” tegasnya.

Bekas Menko Bidang Ekonomi, keuangan dan Industri ke-7 ini menantang pemerintah agar memberikan kesempatan kepada Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal untuk memberikan solusi lain agar defisit di BPJS Kesehatan tidak terjadi lagi. Iqbal dinilai mampu karena ia termasuk inisiator UU BPJS. Menurutnya Said Iqbal mampu dalam satu bulan menelurkan strategi yang lebih komprehensif daripada menaikkan iuran BPJS hingga dua kali lipat.

“Seandainya pemerintah tidak sanggup selesaikan masalah BPJS secara komprehensif, tidak hanya naikkin iuran dua kali lipat dan minta tolong Tiongkok, kami mohon Pak Jokowi minta tolong Said Iqbal (Ketum KSPI) yang akan membentuk komite pekerja dan ahli yang akan berikan solusi komprehensif dalam satu bulan,” jelasnya dalam peluncuran buku dan bedah buku BPJS dalam pusaran kekuasaan di Gedung Parlemen, DPR/MPR RI, Jumat (06/09/2019).

Sangat Memberatkan

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal sepakat dengan Rizal terkait iuran yang sangat kecil. Menurutnya, pertama kali disepakati iuran BPJS hanya berkisar Rp19 ribu untuk peserta kelas III. Saat ini, iuran tersebut sudah dinaikkan menjadi Rp23 ribu.

“Ya boleh jadi didesain gagal. Pemerintah memutuskan Rp19 ribu ya pasti gagal dong dan defisit. Padahal hitung-hitungan bank dunia sudah masuk di angka (minimal) Rp36 ribu per bulan,” katanya.

Namun, jika pemerintah akan menaikkan iuran BPJS akan sangat terasa kepada buruh dengan upah minimum per bulan di bawah Rp 2.000.000, misalnya Sragen, Boyolali, dan Yogyakarta. Demikian juga dengan wiraswasta kecil yang digolongkan sebagai peserta bukan penerima upah. “Pemerintah jangan main-main, bukan segampang itu menaikkan iuran BPJS seolah-olah pendapatan masyarakat sudah rata padahal tidak. Bagi upah minimum Rp 2.000.000 ke bawah, berat,” katanya.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon menyatakan rencana pemerintah menaikkan iuran jaminan kesehatan menegasikan fungsi sosial yang mesti diemban lembaga BPJS Kesehatan. Menurutnya, penaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mestinya tidak harus dibebankan kepada masyarakat dan melawan logika unsur jaminan sosial.

“Merujuk pada perhitungan awal pendirian BPJS, premi yang dibayarkan memang tidak akan pernah mencukupi pembiayaan. Di sinilah letak kesalahan kita meletakkan BPJS seolah perusahaan asuransi murni. Negara mestinya mendudukkan sistem jaminan sosial sebagai instrumen dari produktivitas warganya,” ujarnya.

Ia menegaskan jika konstitusi sudah mengamanatkan pemerintah untuk menjalankan amanat undang-undang yang menyatakan setiap orang berhak sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan berhak memperoleh layanan kesehatan.

“Siapa pun yang berkuasa di Indonesia harus menjalankan amanat konstitusi. Berangkat dari premis ini, setiap persoalan yang berkait dengan BPJS Kesehatan tak bisa langsung dilarikan ke logika rezim aktuaria kesehatan. Sebab BPJS bukanlah asuransi murni tapi sistem jaminan sosial. Karena BPJS instrumen jaminan sosial oleh negara, maka negara mestinya mempertimbangkan kemampuan warga dalam membayar iuran,” katanya.

Membebankan premi yang dibayarkan warga, katanya bisa merusak banyak hal, mulai sistem pengupahan, kesejahteraan tenaga kerja, dan lain-lain. Usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebagai cara untuk mengatasi defisit sesungguhnya sangat ironis. Di satu sisi pemerintah ingin menaikkan iuran, di sisi lain ada defisit, tapi BPJS telah lebih dulu mengurangi manfaat atau tanggungan berupa obat-obatan bagi pasien peserta BPJS Kesehatan.

“Ini adalah bentuk penyelenggaraan jaminan sosial yang buruk. Perlu evaluasi menyangkut kelembagaan, keorganisasian, SDM, dan sejauh mana sistem dalam BPJS itu berjalan transparan dan akuntabel,” pungkasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan jika anggaran kesehatan di negeri ini masih rendah, hal ini menjadi masalah rendahnya anggaran kesehatan di Indonesia menjadi masalah pokok pelaksanaan sistem jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat luas. Idealnya proporsi anggaran kesehatan terhadap GDP sekitar 10 persen meskipun Undang-Undang Kesehatan memandatkan sekitar 5 persen. Hal tersebut yang menjadi masalah BPJS Kesehatan dan seharusnya jangan dulu dilarikan ke masalah aktuaria karena harus dipandang secara komprehensif.

“Anggaran kesehatan kita Rp110 triliun, padahal APBN kita Rp2.200 triliun,” kata Fadli Zon.

Fadli membeberkan, jika dihitung berdasarkan proporsinya terhadap Gross Domestic Product (GDP) anggaran kesehatan hanya 2,8 persen, sehingga setiap orang di Indonesia hanya memperoleh pembiayaan kesehatan 112 US Dolar per kapita atau setara Rp1,5 juta.

Bayar Iuran Sendiri

Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Dr dr Fachmi Idris berdalih minimnya iuran BPJS utamanya kelas 3 membuat BPJS tekor. Ia menegaskan jika iuran yang tak sampai seribu/hari untuk kelas 3 sangat minim sekali.

“Tidak ada niat kami memberatkan apalagi menyusahkan masyarakat dengan menaikkan iuran BPJS. Meski kita selesaikan temuan BPKP terkait inefisiensi di BPJS tetap tidak akan menutupi defisit,” jelasnya.

Fahmi menyebut jika ada tiga solusi yang bisa menutup defisit, pertama penyesuaian iuran, kedua menekan pengeluaran dengan mengaturan manfaat BPJS, ketiga penyuntikan dana tambahan yang selama ini digunakan.

“Iuran BPJS kelas 3 yang Rp 25.500 itu sudah mendapat subsidi dari seharusnya 53 ribu. Begitu juga dengan kelas 2 dari yang seharusnya Rp 63 ribu menjadi Rp 51 ribu. Hanya kelas 1 yang tidak kita berikan diskon yakni Rp 80 ribu. Jadi kami minta yang mampu bayar iuran sendiri (tanpa subisdi). Yang benar-benar tidak mampu ditanggung Negara,” jelasnya.

Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), masih terdapat 10.654.530 peserta JKN yang masih bermasalah. Status mereka belum jelas apakah masuk dalam kategori mampu atau miskin. (D. Ramadani)