Lewat Gawai, Dorong Anak Jadi Inovator, Bukan Sekadar Main Game

84
Indra Charismiadji, Muhammad Hafizh Bayhaqi, dan Pre Agusta

Laporan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) 2018 menyebutkan, 65% anak yang sekarang duduk di bangku SD nantinya akan bekerja di bidang yang hari ini bahkan belum ada. Dua dekade lalu, siapa menyangka bisa berkarya di perusahaan seperti Google atau Facebook?

“Jadi hanya 35% pekerjaan yang masih tersisa. Yang 65% dituntut untuk jadi pencipta kerja, bukan pencari kerja,” ungkap Indra Charismiadji, pengamat dan praktisi pendidikan dan sains yang juga Direktur Eksekutif Center of Education Regulation, and Development Analysis, dalam diskusi bertajuk “Sains Digital dari dan untuk Anak Indonesia” di Jakarta, Jumat (6/9/2019).

Diskusi ini diselenggarakan Kalbe Junior Scientist Award (KJSA), ajang lomba karya sains untuk siswa SD dan SMP se-Indonesia. Diselenggarakan setiap tahun sejak 2011, tahun ini tema yang dipilih adalah “KJSA 2019 Goes Digital”.

KJSA mengedepankan misi agar anak-anak Indonesia sejak awal terekspos dengan inovasi dan pola pikir kreatif. “Kunci untuk memenangi persaingan adalah inovasi. Dan inovasi baru berjalan bila banyak inovator,” ujar Pre Agusta, Direktur R&D Kalbe Group.

Di tahun kesembilan ini, KJSA mengangkat tema digital, yang memang sedang hangat-hangatnya. “Digital berarti dua hal, yakni cara berpikir misalnya dengan big data dan algoritma, dan alatnya misalnya dengan internet dan gawai,” tutur Pre.

Selama ini masyarakat Indonesia hanya sebagai konsumen teknologi, belum menjadi inovator atau pencipta. Terlebih pada anak, gawai masih lebih banyak digunakan untuk bermain ketimbang menciptakan. Seandainya anak tergerak untuk menciptakan inovasi dalam bidang digital di usia muda, bisa dibayangkan apa yang mampu diciptakannya kelak di masa depan.

Inovasi sesungguhnya tidak harus sesuatu yang betul-betul baru dan belum pernah diciptakan. “Contohnya ojek, sejak dulu sudah ada, tetapi cara memanggilnya yang berbeda. Dulu pakai keplok-keplok [tepuk tangan-Red], sekarang pakai aplikasi. Gojek bisa dianggap sebagai sebuah inovasi, meski yang berubah hanya cara memanggilnya,” tutur Indra.

Ia melanjutkan, keilmuan bukan hanya sains. Kini dikenal istilah STEAM: science, technology, engineering, art, math. “Hasil belajar dari STEAM yakni anak punya nalar yang baik; menciptakan adalah kemampuan manusia yang paling tinggi,” katanya.

Selain itu, ada empat kecakapan abad 21 yang harus dimiliki anak-anak di masa depan, yakni berpikir kritis, berkolaborasi, berkomunikasi, dan kreatif. Keempat kecakapan tersebut yang nantinya akan mendorong anak menghadapi kehidupan di masa mendatang.

Kreativitas adalah bagian penting dalam inovasi, dan ini sudah mengalir dalam darah bangsa Indonesia. Terlihat dari kebudayaan nenek moyang kita seperti rumah adat dan tarian yang luar biasa. Namun, begitu kita mengenal konsep sekolah formal, kita mulai berpikir seragam.

Lihat saja, anak-anak di seluruh Nusantara, bila diminta untuk menggambar pemandangan, mereka akan menorehkan tampilan yang sama: dua gunung dengan matahari mengintip, dan jalan diapit sawah. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan.

“Karena itu, kami senantiasa mendorong anak-anak bisa berpikir kreatif dan inovatif. Ke depan, diharapkan mereka bisa menciptakan hasil karya yang bermanfaat untuk masyarakat. Inovasi baru disebut inovatif bila bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga membuat kehidupan lebih baik, nyaman, dan sejahtera,” ungkap Pre.

Dalam kesempatan tersebut hadir Muhammad Hafizh Bayhaqi, yang baru berusia 12 tahun, pembuat aplikasi GoodMath. Hafizh menciptakan GoodMath berdasar keprihatinan banyak teman seusianya yang tidak suka pelajaran matematika. (est)