Liberalisasi Regulasi Tenaga Kerja Asing

30

sironline.id, Jakarta – Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengeluarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) RI No. 228 tahun 2019 tentang jabatan tertentu yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing, yang ditandatangani pada 27 Agustus 2019. Peraturan ini adalah penyempurnaan dari beberapa peraturan sebelumnya yang pernah terbit.

Kepmenaker ini memuat daftar jabatan-jabatan yang boleh diisi oleh para tenaga kerja asing. Alasan penerbitan keputusan menteri terbaru soal jabatan tenaga kerja asing karena Perpres No. 20 tahun 2018 tentang penggunaan tenaga kerja telah terbit, keputusan menteri soal tenaga kerja sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketenagakerjaan, sehingga perlu disempurnakan.

Di bidang konstruksi, pada Kepmenaker yang baru terdapat 181 posisi yang dibolehkan untuk jabatan pekerja asing, padahal pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi  No. KEP 247/MEN/X/2011, yang mengatur soal jabatan pekerja asing di bidang konstruksi jumlah jabatan yang dibolehkan hanya 68 jenis jabatan.

Di sektor pendidikan ada 143 jenis jabatan untuk pekerja asing yang diatur pada Kepmenaker No. 228 tahun 2019, sedangkan pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 462 tahun 2012 hanya memuat daftar 77 jabatan untuk pekerja asing di sektor pendidikan.

Di industri makanan, pada Kepmenaker terbaru mencantumkan hanya 44 jabatan yang boleh diisi oleh tenaga kerja asing, dan pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 358 tahun 2013 justru lebih banyak.

Sekjen OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia) / Pengurus Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) Timboel Siregar menilai Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) RI No. 228/2019 yang mengatur tentang jabatan tertentu yang bisa diduduki TKA (Tenaga Kerja Asing) menjadi perhatian publik saat ini. “Kemenaker ini membuka ruang pekerjaan yang lebih luas yang bisa ditempati oleh TKA di Indonesia. Kepmenaker ini merupakan pembiasan pasal 42 – 49 UU no. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) yang memang mengatur tentang TKA,” tegasnya.

Ia melihat bila membaca Pasal 42 ayat (4) UUK, kehadiran TKA memang dibatasi sehingga tenaga kerja kita bisa terserap lebih banyak lagi di republik tercinta ini. Pembatasan tersebut dapat kita lihat dari pengenaan kata “jabatan tertentu” dan “waktu tertentu” untuk TKA yang dipekerjakan di Indonesia. Namun dengan lahirnya Kepmenaker No. 228 Tahun 2019 ini maka jabatan yang awalnya dibatasi sekarang dibuka lebih luas lagi.

“Kepmenaker ini merupakan proses liberalisasi ketentuan TKA sehingga pekerjaan di segala bidang dan segala fungsi bisa diduduki TKA. Bila membaca Lampiran Kepmenaker ini maka dapat dipastikan hampir seluruh jabatan dan fungsi pekerjaan di Indoensia bisa ditempati oleh TKA,” tambahnya.

Lebih jauh lagi, menurutnya kalaupun pemberi kerja mau menggunakan TKA yang tidak ada di list Kepmenaker ini maka Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) bisa memberikan ijin. Ini artinya Menaker secara subyektif bisa menerbitkan ijin TKA untuk sektor maupun jabatan lainnya, dan ini lebih membuka ruang pekerjaan TKA di Indonesia.

Seharusnya Kepmenaker ini tetap mengacu pada UUK yang saat ini masih eksis dan Pasal 42 – 49 UUK masih berlaku tanpa perubahan satu kata pun. Pasal 45 UUK yang mewajibkan adanya tenaga kerja pendamping sebagai bentuk alih teknologi tentunya tidak akan dilakukan oleh TKA karena jabatan dan pekerjaan yang disebut di Kepmenker ini tidak dalam proses alih teknologi. Jabatan dan pekerjaan yang disebut oleh Kepmenaker ini merupakan pekerjaan teknis yang memang tidak ada unsur alih teknologinya, dan pastinya sangat bisa dilakukan oleh tenaga kerja kita.

“Secara hukum, kedudukan Kepmenaker jauh di bawah ketentuan Undang-undang, dan oleh karenanya isi Kepmenaker ini tidak boleh bertentangan denga Pasal 42 – 49 UUK. Menaker telah melakukan kesalahan yang sistemik,” ujarnya.

Ia menilai TKA sudah diberikan ruang yang sangat luas untuk bekerja di Indonesia tanpa mempertimbangkan keberadaan tenaga kerja kita. Tentunya Kepmenaker ini menjadi tantangan bagi tenaga kerja kita, dan sekaligus menjadi ancaman bagi tenaga kerja kita.

Tentunya kalangan pengusaha asing akan lebih senang menggunakan TKA karena tidak ada TKA yang menjadi pekerja tetap dan bila di-PHK akan diberikan Pesangon, Penghargaan Masa Kerja dan Penggantian Hak seperti yang diatur di Pasal 156 ayat (2), (3) dan (4) UUK. TKA hanya akan diikat oleh perjanjian kerja waktu tertentu yang memastikan perusahaan akan dengan mudah merekrut maupun melakukan PHK.

Menurutnya kehadiran Kepmenaker membuat Indonesia dijadikan sasaran penempatan TKA. Seharusnya Pemerintah mempertimbangkan angkatan kerja kita yang jumlahnya per Februari 2019 mencapai 136,18 juta dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,01% atau sekitar 6,82 juta orang. Kalau pun ada investor asing menanamkan modalnya di Indonesia tetapi tenaga kerjanya berasal dari negara mereka, apa dampak baiknya buat tenaga kerja kita. Lapangan kerja terbuka tetapi hanya untuk TKA, bukan tenaga kerja kita. Kepmenaker ini akan berpotensi meningkatkan pengangguran terdidik tenaga kerja kita.

“Kami mendesak Pemerintah mempertimbangkan kembali kehadiran Kepmenaker ini dengan mengacu dan tunduk pada pasal 42 – 49 UUK serta mempertimbangkan kondisi angkatan kerja dan pengangguran terbuka saat ini. Kini Menaker meliberalisasi regulasi TKA dengan mengorbankan angkatan kerja kita, setelah aturan ijin perusahaan outsourcing diliberalisasi. Besok regulasi ketenagakerjaan apa lagi yang akan diliberalisasi Pak Menaker?” tanyanya. (eka)