Martha Simanjuntak : Perempuan Adalah Motor Penggerak Perubahan

317

sironline.id, Jakarta – Hidup di era digital, perempuan Indonesia harus tanggap teknologi. Perempuan harus berjalan setara dengan kaum pria dalam menjalani kehidupannya. Perempuan harus belajar untuk terus maju mengikuti perkembangan zaman.

Dalam perbincangan dengan Martha Simanjuntak bercerita tentang awal mula mendirikan Indonesian Women IT Awareness (IWITA) pada tahun 2009. Waktu itu, Atha, panggilan akrabnya, menyadari perempuan masih sangat minim menggunakan teknologi. “Saya bukan tecnical person, tapi saya tau teknologi bisa meningkatkan produktivitas seseorang,” ujarnya.

Ia pun menekankan bahwa para perempuan Indonesia harus dapat secara bijak menjalani dua perannya, baik sebagai ibu rumah tangga juga sebagai wanita karier yang maju dan tanggap teknologi.

IWITA merupakan Ikatan Perempuan yang tanggap teknologi yang mengajak para perempuan Indonesia untuk tidak ketinggalan zaman dengan kemajuan dunia teknologi. “Karena perempuan adalah motor penggerak. Jadi kita utamakan berdayakan perempuan,”tukasnya.

Berdasarkan data dari jasa asosiasi internet, pengguna laki-laki 51, perempuan 49%. Untuk teknologi, perempuan kebanyakan hanya memanfaatkan internet. Sedangkan laki-laki menciptakan.

9 tahun setelah mendirikan IWITA, Atha bersyukur organisasi ini sudah ada di 14 propinsi. Mulai dari Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Bekasi, Papua, Maluku, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Natuna dan Jakarta. “Ini merupakan untuk kesempatan perempuan lebih berdaya. Ke depannya kita ingin hadir di seluruh propinsi,” tukasnya.

Waktu 5 tahun awal berdirinya IWITA, organisasi ini masih fokus di Jakarta. Seiring dengan bertambah usia, IWITA melebarkan sayap ke daerah-daerah. “Karena kita lihat di Jakarta ini sudah banyak akses informasi,” tukasnya.

“Kalau peluang wanita di daerah memang masih jauh. Makanya butuh pemerataan. Supaya kota dan desa punya peluang yang sama. Sekarang pemerintah melalui Kominfo sudah bikin jaringan-jaringan internet supaya bisa diakses dengan mudah.  Walaupun ini bukan pekerjaan yang mudah, tapi paling tidak mereka bisa tereduskasi. Kerja keras pemerintah perlu kita apresiasi, tapi harus pararel dengan manusia. Karena manusia yang mengatur semuanya itu.  Ketika manusia tidak teredukasi dengan teknlogi, ini bisia dibayangkan dampak negatif yang terjad,” sambungnya.

IWITA bisa berkembang sejauh ini, karena banyak programnya yang bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Kementrian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta Kementrian Perundistrian.

“IWITA tidak bisa kayak sekarang, kalau bukan kolaborasi. Kekuatan kita kolaborasi. Dengan kolaborasi, anggota kita bisa diberdayakan. Makanya kita butuh kerjasama antara pemerintah, akademisai, industri, juga masyarakat sipil,” ucapnya

Perempuan di Era Digital

Misi IWITA adalah mencerdaskan perempuan melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi. Karena itu, kini IWITA memiliki anggota ratusan ribu orang yang tersebar di berbagai lokasi di Indonesia.

Saat ini kita masih dalam revolusi 3.0, yakni konten dan konektivitas. Namun, kita menuju revolusi industry 4.0, dimana manusia akan banyak diganti dengan mesin.

Bagi Atha, penting seorang wanita menguasai internet. “Sekarang kita lihat dalam hal pengasuhan anak, maupun mencari informasi tentang sekolah anak bisa lewat internet. Jadi wanita bisa mengasuh dan membimbing anak dalam belajar,” katanya.

Berkembangnya konten internet yang negative, solusinya bukan memblokir. Itu tidak cukup. Malah akan muncul terus. Yang utama memotivasi dan mengedukasi masyarakat dengan membuat konten positif.

Dikatakan Atha, perempuan harus pintar dan melek teknologi. Sesuai dengan tagline IWITA, yakni terwujudnya perempuan Indonesia tanggap Teknologi Informasi melalui awareness (kesadaran), learning (pembelajaran), implementation (implementasi dalam kehidupan masyarakat) dan socialization (sosialisasi) sehingga perempuan dapat berperan dan berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Mengubah persepsi, merupakan tantangan membuat wanita maju dalam dunia teknologi informasi. “Karena kalau persepsi tidak bisa diubah, sulit mengajak seorang wanita maju,” jelasnya.

Kedepannya, harapan Atha akan semakin banyak wanita Indonesia yang cerdas menggunakan teknologi infomarmasi. “Semoga perempuan harus menjadi ibu yang pintar, bisa memilih baik dan buruk serta bagamana menggunakan peluang yang ada untuk hal-hal yang positif,” pungkasnya. (des)