Rachmawati Soekarnoputri : Pasca Membacakan Naskah Proklamasi, Soekarno Makan Sate di Pinggir Jalan

308

sironline.id, Jakarta  – Kita bangsa yang cinta perdamaian, tetapi lebih cinta kemerdekaan,” kata Presiden Sukarno dalam pidato HUT Proklamasi tahun 1946.  Bung Karno tahu, sadar, dan yakin bahwa mustahil akan tercapai perdamaian tanpa kemerdekaan sebagai asas paling dasar dari keadilan. Dan jika kemerdekaan tercapai, langkah menuju perdamaian tinggal menunggu waktu dan selangkah lagi.

Kutipan pemikiran Bung Karno di atas menjadi pembuka pembicaraan dengan Rachmawati Soekarnoputri di kampus Universitas Bung Karno, Jalan Kimia, Jakarta Pusat, Selasa (13/08/2019).  Siang itu, Rachma, panggilan akrabnya mengenakan stelan hitam yang padu dengan jilbab hitamnya. Menurutnya bicara kemerdekaan bangsa ini, maka tak bisa dilepaskan dari sosok sang ploklamator Indonesia, Ir. Soekarno. Dialah presiden pertama Indonesia yang telah berhasil memerdekakan bangsanya pada tahun 1945.

Diceritakan Rachma, ada kisah menarik yang diceritakan sang ayah terkait proses kemerdekaan Indonesia. Saat itu, pasca-membacakan naskah proklamasi kemerdekaan di Jalan Pengangsaan Timur 56, Jakarta, Bung Karno makan sate ayam. “Makan sate ayam di pinggir jalan di Pengangsaan Timur,” kata Rachma tertawa. Tak hanya itu, ternyata saat itu Bung Karno sedang sakit. “Saat itu lagi kambuh malarianya,” sambung Rachma.

Perjuangan Bung Karno hingga Indonesia merdeka memang berlika-liku. Salah satunya Bung Karno dibuang ke beberapa lokasi. “ Bapak dibuang ke Ende, Bengkulu, Parapat, juga Bangka,” jelasnya.

Lokasi pertama tempat pengasingan Bung Karno adalah Kota Ende. Ende dianggap sebagai tempat yang tepat agar Sukarno  terisolasi dari kegiatan politik.  “Di seluruh pulau itu tak ada bioskop, perpustakaan, maupun hiburan lainnya. Di sini juga tidak ada telepon dan kantor telegraf. Satu-satunya hubungan dengan dunia luar hanyalah lewat dua buah kapal pos yang masing-masing datang sekali sebulan. Dua kali dalam sebulan kami menerima surat-surat dan surat kabar dari luar,” cerita Sukarno kepada wartawati AS, Cindy Adams, dalam karyanya, Sukarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sukarno dibuang ke Pulau Ende oleh pemerintah Hindia Belanda selama 4 tahun, hingga 1938.

Selanjutnya Bung Karno dibuang ke Bengkulu. “Bapak jadi guru di sekolah milik Muhammadiyah, lalu bertemu dengan Bu Fat,” kata Rachma tersenyum. “Aku senang dengan Fatmawati. Kuajari dia bermain bulutangkis. Dan dia kuajak berjalan-jalan di sepanjang pantai pesisir Bante Pandjang,” tulis Bung Karno dalam otobiografinya.

Sumatera Utara banyak menyimpan jejak perjuangan Bung Karno. Terutama di Brastagi dan Parapat. Di kedua tempat tersebut, Presiden pertama Republik Indonesia itu pernah menjalani pengasingan. Tak sendiri di pengasingan, karena Bung Karno bersama Sjahrir, dan Haji Agus Salim di buang di Sumatera Utara. Awalnya mereka ditempatkan di Brastagi. Namun tak lama kemudian, ketiganya dipindahkan ke Parapat.

Tempat pengasingan Soekarno selanjutnya adalah Pulau Bangka, yaitu Kota Muntok. Soekarno dipindahkan ke Bangka pada 1949. Ia pun menyusul jejak Hatta yang lebih dulu diasingkan di sana.

Makna Kemerdekaan

Bagi Bung Karno kemerdekaan adalah harga mati. Sebagai bangsa kita tak boleh kehilangan jatidiri. Kita hidup di tengah era globalisasi, tapi kita tak boleh terbawa arus globalisasi itu sendiri. Karena itu untuk mengisi kemerdekaan, Bung Karno menekankan tiga hal. Pertama, berdaulat secara politik.  Soekarno telah berhasil memperjuangkan Pancasila sebagai kemandirian bangsa Indonesia dengan memiliki ideologi negara sendiri. Bung Karno mengatakan Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Sebagai negara berdaulat, RI tak boleh didikte oleh negara mana pun di dunia, termasuk negara-negara raksasa. Dengan menganut politik bebas aktif, posisi kita justru harus bisa ikut mewarnai kehidupan bangsa-bangsa di dunia, dan ikut pula menciptakan perdamaian dunia.

Kedua, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) secara ekonomi. Kemandirian secara ekonomi ditegaskan Soekarno, bahwa lebih baik potensi sumberdaya alam Indonesia dibiarkan, hingga para putra bangsa mampu untuk mengelolanya. Bung Karno menolak eksploitasi atau penjajahan oleh kekuatan asing.

Bung Karno mengajak rakyat Indonesia untuk lebih percaya diri. Tidak bermental ‘tempe’. Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, kata presiden RI pertama itu, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.  Semangat berdikari yang dicetuskan Bung Karno sama sekali tidak menolak investasi, produk, dan jasa asing. Yang ditekankan dalam semangat berdikari adalah kemandirian di berbagai bidang ekonomi, termasuk di bidang pangan dan energi. Semangat berdikari kembali aktual karena ekonomi Indonesia saat ini sedikit banyaknya sudah tergantung pada asing. Kita butuh investasi asing ataupun barang impor, tapi itu hanya boleh jadi pelengkap. Sebaliknya, kita justru harus bisa mengolah dan mengembangkan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dengan tenaga-tenaga terdidik yang kita miliki. Kita harus bisa ciptakan pasar sendiri, bukan menjadi pasar bagi produk asing.

Bung Karno saat berpidato pada HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1963 mengatakan kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bistik tapi budak. Pidato Bung Karno  sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Ketiga, berkepribadian secara sosial budaya. Ini penting kita tumbuh-kembangkan agar kita tidak terombang-ambing oleh semua hal yang berbau asing. Kita punya kekayaan sosial dan budaya yang luar biasa kaya dan beragam, dan ini harus kita kembangkan dalam rangka mewujudkan kepribadian bangsa. Kita harus menjadi bangsa besar dan kuat, dengan terus mengembangkan kekayaan sosial- budaya yang kita miliki.

Mengakhiri pembicaraan, dikatakan Rachma, dalam pikiran Bung Karno persatuan merupakan yang utama dan selalu melawan kolonialisme. “ Jangan sampai kita menjadi bangsa, seperti yang Bung Karno bilang, ‘bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa’,” terang Rachma.

Ke depannya Rachma berharap agar Indonesia bisa kembali ke rel. Dimulai dengan melaksanakan UUD 1945. “Paling tdk melaksanakan UUD 1945, sebelum diamandemen, ini belum dilaksanakan sudah diamandemen,” tanya Rachma. Indonesia harusnya mengutamakan nation character building. “Jangan pembangunan  fisik yang diutamakan, itu mah proyek,” tutup Rachma yang berharap semua komponen bangsa mau kembali ke pikiran-pikiran Soekarno dan melaksanakannya. (dess)