Unifah Rosidi : Mencintai Guru, Mengabdi Bagi Bangsa

250

sironline.id, Jakarta – Mimpinya menjadi diplomat. Namun, jalan hidup membawanya menjadi tenaga pendidik. Kini, Unifah Rosidi terpilih sebagai orang nomor satu di organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).  Banyak hal yang ingin diwujudkan wanita asal Cirebon ini.

Sejak kecil, Unifah dikenal sebagai pribadi yang aktif dan senang belajar. Ia mengaku meski tinggal di desa, dan belum ada aliran listrik, sang ayah yang merupakan kepala desa telah berlangganan surat kabar. Karena itu, ia meiliki hobi menggunting mata uang berbagai negara dan filateli.

Pasca menamatkan SMA di Cirebon, ia ingin melanjutkan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Sayangnya pendaftaran di universitas yang dituju telah ditutup. Mimpi menjadi diplomat pun kandas.

Unifah pun melanjutkan studi di jurusan Bimbingan dan Konseling di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.  Setelah merampungkan studi, Unifah memiliki keinginan menjadi tenaga pendidik.

Ia pun diterima sebagai dosen di Universitas Negeri Jakarta. Keinginan untuk meningkat kapasitas  membuatnya melanjutkan studi S2 di UPI Bandung. Tak berhenti di situ, saat S3 diterima di University of London, Inggris. Sayangnya keluarga tidak menyetujui, sehingga Unifah melanjutkan S3 di Universitas Indonesia.

Sembari mengajar, tahun 2005, Unifah mulai aktif di PGRI. “Saya diajak ke PGRI, oleh professor Mohamad Surya, beliau Ketua Umum saat itu,” kata ibu dari 2 orang ini.

Saat itu jabatan yang diembannya sebagai sekretaris bidang. Tugasnya mempersiapkan makalah para pemimpin. 12 tahun berselang, sejak aktif pertama kali, Unifah terpilih sebagai Ketua Umum PGRI.

Dalam perjalanan Bersama PGRI, Unifah merasa kasihan terhadap guru. Menurutnya guru perlu ditolong.  “Guru gak otonom. Di daerah sering dikooptasi jadi bagian birokrasi. Tidak merdeka dalam gagasan.  Sulit mengurus hak-haknya. Juga tata kelola guru yang masih carut marut,” jelasnya.

Dengan terjun langsung, Unifah makin memahami persoalan  guru. Apalagi dengan terpilih sebagai Ketua Umum PGRI, Unifah makin menyadari gerak dari perjuangan para guru ini.

Unifah menyadari bahwa proses seleksi guru tidak istimewa. Hal ini berdampak pada kurangnya inisiatif guru untuk berkembang dan memajukan diri. “Jadi saya pikir guru harus didorong kesadaran dan motivasi, karena guru itu bukan pilihan yang pertama,” ucapnya.

Di tengah berbagai kompleksitas persoalan guru, Unifah bersyukur saat keliling ke berbagai daerah di Indonesia, ia melihat mulai tumbuh guru guru muda dengan kapasitas yang bagus.

 Persoalan Guru

Saat ini Unifah melihat ada 3 persoalan utama guru. Pertama, kekurangan guru. Hal ini karena  selama 10 tahun tidak ada rekrutmen. Kedua, tidak ada pelatihan membuat kualitas guru rendah. Ketiga, masalah otonomi guru. Guru tidak otonom. Di kelas orangtua bisa ikut campur.

Masalah lain yang dihadapi, tunjangan sertifikasi guru. “Padahal sertfikasi ini lebih banyak ke politik anggaran. Jadi politik sertifikasi, dibayar juga sangat sulit,” imbuhnya. Persoalan-persoalan ini membuat wajah guru itu dari waktu ke waktu menjadi buruk.

Guru itu tidak bisa lepas dari mengabdi, dan kecintaan untuk memberi. “Jadi kita mengajak guru melalui PGRI untuk memperjuangkan kepentingan. Kami menyadari perjuangan kami juga tidak mudah. Karena birokrasi itu rumit. Presiden dan Menteri oke, tapi dibawahnya itu. Mengubah kultur birokrasi ini gak mudah,”  ucap wanita murah senyum ini.

Saat ini PGRI membangun learning center. Dengan harapan bisa meningkatkan kompetensi para guru.  “Meski kami masih mencari bentuk. Karena kami menyadari bahwa anak-anak sekarang beda dengan dulu.  Jadi guru harus memahami agar tidak terjadi benturan,” katanya.

Program Utama

Dalam memimpin PGRI, Unifah memiliki 2 program utama. Program ke dalam. Menyangkut modernisasi organisasi dan dikelola profesional, serta membuat system di organisasi. “Jadi kita buat sistem organisasi kepengurusan. Saat ini anggota PGRI 3 juta lebih, “ ucapnya.

Selain itu juga transparansi keuangan. Dimana iuran anggota sebesar Rp 4 ribu. Yang masuk ke kas pusat sebesar Rp 400. Namun, karena di cabang sering kekuranagn dana sehingga sering tidak di setor ke pusat.

Program keluar yakni mendorong kesadaran kolektif untuk meningkatkan mutu guru. Salah satunya dengan program guru menulis.  Lalu ada TOT, training on traineers.

Unifah sangat berharap guru harus menjadi sosok pencerah. Saat di kelas, guru harus mencegah radikalisme. “Guru sebagai pendidik harus menebarkan kasih sayang dan punya pikiran terbuka,” kata Unifah yang saat ini masih mengajar S1-S3 di Universitas Negeri Jakarta.

Diakui Unifah, tantangan dalam membangun PGRI adalah mengubah mindset dan profesionalisme.

Sebagai ketua umum PGRI, Unifah ingin mengubah mengubah PGRI sebagai kekuatan moral dan intelektual bangsa. “Artinya tidak menjadikan PGRI sebagai batu loncatan untuk kepentingan individu per individu. Jadi tidak ada kepentingan pribadi. Ini sulit karena mengubah mind set,” jelas Unifah yang suka baca ini.

Unifah pun ingin menjadikan profesi guru terpandang dan mulia, kesejahteraan tidak dipermainkan, aspirasi guru bisa di dengar, dan guru bisa menjadi lokomotif perubahan bangsa. Kalo pemerintah mengaprreasi  segala kebutuhan guru.

“Negara ini belum memberikan penghargaan yang layak untuk para guru. Kita berkutat bagaimana guru dimuliakan,” tegasnya

Harapan Unifah, guru jangan dipermainkan sebagai komoditas politik. Kembalikan marwah guru. Kembalikan hak guru. “Guru jangan hanya indah dipidatokan saja. Guru harus sejahtera sehingga bsia melahirkan generasi yang sejahrtera,” pungkas Unifah yang suka travelling ini. (dess)