Henny Kristianus : Punya 5 Ribu Anak Asuh di Seluruh Indonesia

4112

sironlie.id, Jakarta – Hidup mapan di Negeri Kanguru Australia ditinggalkannya. Memutuskan kembali ke tanah air dan membangun Tangan Pengharapan. Jalan terjal dilewatinya. Meski begitu, wanita kelahiran Jakarta ini tetap teguh pada pendiriannya. Keinginan Henny Kristianus untuk membantu sesama membuatnya tak gentar dengan berbagai masalah yang menghadapnya.

Henny bercerita tentang awal mula membangun Tangan Pengharapan. “Jadi tahun 2006, saya dan suami berlibur ke Jakarta, membawa anak kembar kami, Chloe dan Zoe yang saat itu baru berusia 4,5 bulan. Niat hatinya ingin istirahat karena baru melahirkan putri kembar kami,” cerita Henny.

SELAMATKAN GENERASI

Nah saat itu di Indonesia, banyak sekali anak jalanan terutama di lampu-lampu merah. Jauh lebih banyak dibanding waktu Henny masih tinggal di Indonesia tahun 1996. “Suatu hari saya seperti mendengar bisikan di hati, ‘Henny selamatkan generasi’. Waktu itu saya ga ngerti maksudnya apa. Waktu suami datang menjemput, saya bilang ke suami, ‘mau ga tinggal di Indonesia’, suami waktu itu bilang, ‘mau ngapain’. Karena saat itu kami punya bisnis, punya rumah, punya 2 mobil, kami sudah punya yang apa saja orang muda pengen punya di Australia. Saat itu suami saya bilang, ‘di Indonesia mau ngapain’, terus saya bilang, coba dipikirkan, didoakan saja, kalau ini jalan Tuhan buat kita pasti kamu mau pindah ke sini. Entah bagaimana, suami saya tiba-tiba dapat tawaran kerja di Indonesia,” terangnya.

Meski telah menemukan panggilan hidup, tidak serta mudah mewujudkannya. Henny mengakui bahwa pasca memutuskan tinggal di Indonesia hidup ternyata sangat sulit. “Kesulitan hidup mulai kami alami saat meninggalkan Australia. Karena bisnis kami terpaksa ditutup, bisnis yang tidak bisa dipindahkan begitu saja, kemudian kami terpaksa menjual aset kami di Australia, terpaksa jual mobil supaya kami bisa hidup di Indonesia. Kesulitan kami alami, karena kami jual rumah itu cukup lama laku, sekitar 10 bulan. Untuk menutupi cicilan tiap bulan itu kami terpaksa menggunakan semua dana yang kami punya, termasuk hasil penjualan mobil. Ketika rumah terjual, tabungan kami semakin menipis. Keputusan untuk tinggal di Indonesia itu membawa kami ke dalam penderitaan. Selama itu kami harus tetap membayar cicilan rumah di Indonesia dengan income zero. Jadi hanya dari tabungan kami di Australia aja,” imbuhnya.

Henny menjelaskan memilih tinggal di Indonesia merupakan salah satu fase sulit dalam hidupnya. “Jujur saja setelah saya memutuskan tinggal di Indonesia itu saya stres berat. Bagaimana ga stres, kami punya anak kembar, awalnya terpaksa numpang di rumah ibu saya. Suami tiba-tiba gapunya penghasilan, yang tadinya dari setiap minggu kami bisa dapat 2 ribu dolar Australia, tiba-tiba sekarang ga dapat uang sama sekali. Aset kami sudah hilang, yang kami cuma bisa lakukan adalah berdoa. Yang saya lakukan waktu itu, saya bilang ke Tuhan, saya ini diciptakan untuk apa. Dan saya bertanya siang malam. Tuhan mau apa dengan hidup saya. Dan jawaban itu saya terima di Bandung akhir tahun 2006. Bahwa saya harus menolong orang miskin,” ucapnya.

Setahun di Bandung, Henny dan keluarga kembali ke Jakarta pada Juli 2007. “Pengusaha yang memberi suami kerjaan di Bandung, minta suami saya kembali ke Sidney, ada job lain, dengan gaji lebih besar, fasilitas rumah dan sebagainya. Kami menolak karena kami tau panggilan hati kami ada di Indonesia. Kami ingin menjadi berkat bagi anak-anak di Indonesia,” terangnya.

Setelah di Jakarta, Jojo dapat panggilan jadi pembicara di Sidney selama 1 bulan. “Nah ketika di Sidney, dia dapat job di Indonesia untuk mengurus TV program dari Joyce Meyer Ministry. Kami handel production-nya. Nah Joyce Meyer Ministry punya NGO, Hand of Hope yang mengurus makanan. Karena mereka tau passion saya adalah menolong anak-anak, mereka support untuk makanannya. Saya mulai menjelajahi Jakarta waktu itu, ada 8 titik yang menolong anak-anak jalan dalam pemberian makanan bergizi dan bimbingan belajar gratis. Salah satunya di Jembatan Tiga, Jakarta Barat. Pokoknya di rel kereta api. Jadi waktu itu saya dirikan dapur umum di satu titik, pemberian di 8 titik. Jadi guru-guru ada di setiap titik. Saat itu ada 1028 anak yang kami bantu. Waktu itu donator baru Joyce Meyer Ministry,” cerita Henny.

Sayangnya pemberian makanan bergizi di Jakarta ini dihentikan pada tahun 2008. Karena Henny merasa teman-teman yang diajak kerjasama tidak jujur. Meski project di Jakarta dihentikan, keinginan untuk menolong sesama tidak pernah padam di hati Henny. “Kami mulai masuk ke dusun Pepe, Gedong Jati, Grobongan Jawa Tengah. Ini desanya kering, di atas bukit, susah sekali jalannya. Dari Desa Pepe, lalu kami pergi ke Halmahera Utara,” ucapnya.

Lalu selanjutnya, Henny masuk ke Nusa Tenggara Timur. Saat itu, dukungan tidak hanya datang dari Joyce Meyer Ministry, namun teman-teman yang mulai mendengar kiprahnya mulai memberi dukungan finansial. Karena itu, Henny memutuskan membuat yayasan yang diberi nama Tangan Pengharapan.

5 RIBU ANAK

Kini jangkauan pelayanan Tangan Pengharapan makin meluas. Di awal hanya 3 daerah dengan 435 orang anak, kini lebih dari 5 ribu anak yang telah ditolong Tangan Pengharapan. Ada 64 titik Tangan Pengharapan, mulai dari Mentawai, Papua, Kalimatan Barat, Sumba, Nusa Tenggara Timur, Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Timor, Halmahera Utara, dan Sulawesi Utara. “Paling banyak itu di NTT. Di Papua terbesar setelah itu,” tandasnya.

Menangangi anak sebanyak itu, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi Tangan Pengharapan tidak memiliki pendonor tetap. Meski begitu, keyakinan akan pertolongan Tuhan yang tak pernah terlambat membuat Henny kuat. (dsy)