Harga Garam Anjlok Setelah Perpres 71 Tahun 2015 Diubah

110
petani garam Madura

sironline.id, Jakarta – Harga garam rakyat anjlok mencapai Rp 400 hingga Rp 500 per kilogram. Petani garam pun meminta pemerintah untuk turun tangan. Deputi II Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Maritim Agung Kuswandono mengatakan harga garam rakyat yang anjlok adalah kategori garam dengan kualitas rendah atau kategori K2 dan K3. Sementara garam rakyat dengan kualitas level 1 (K1) sudah diserap oleh PT Garam dan perusahaan importir yang telah menandatangani kesepakatan dengan Kementerian Perindustrian.

“Dari tahun 2018 hingga 2019  sebanyak 15 perusahaan telah menjalin kerjasama dengan Kementerian Perindustrian terkait penyerapan garam rakyat. Total sebanyak 962.220 ton garam telah diserap. Untuk mengatasi harga garam yang anjlok, petani garam harus meningkatkan kualitas garamnya supaya dapat diserap PT Garam dan perusahaan importir melalui Kementerian Perindustrian,” terangnya di Jakarta, Jumat (12/7).

Ia menambahkan, Kementerian Koordinator (Kemenko) bidang Kemaritiman akan mengusulkan agar garam masuk kembali menjadi salah satu kebutuhan pokok dan barang penting. Tujuannya, agar garam memiliki ketetapan harga jual atau Harga Pokok Penjualan (HPP) sehingga tidak merugikan petambak tradisional. “Secara sosial ekonomi, kami menganggap garam ini penting dan masuk barang kebutuhan pokok. Maka Kemenko Maritim mengusulkan agar garam bisa masuk kebutuhan pokok dan barang penting,” kata Agung Kuswandono.

Menurutnya, di Perpres No. 71 tahun 2015, garam dimasukkan sebagai salah satu kebutuhan pokok dan barang penting  sama seperti daging, susu tepung, cabai. Jadi pemerintah bisa menetapkan HPP garam. Tapi kemudian perpres ini diubah, dan garam dikeluarkan dari perpres yang baru. Alasannya konsumsi garam oleh masyarakat per kapita hanya 3,5 kg per tahun. Selain itu garam tidak mempengaruhi inflasi. Namun, pengeluaran garam dari Perpres tersebut dinilai tidak berpihak pada kelangsungan 400 industri yang bergantung pada garam serta kondisi petambak garam.

Pihaknya akan duduk bersama para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah terkait untuk merealisasikan usulan tersebut. Kementerian Perdagangan (Kemendag) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga Kemenko Perekonomian juga akan dilibatkan atas usulan tersebut.

Ia menambahkan, penentuan HPP garam nantinya harus diikuti oleh peningkatan mutu. Pasalnya, kualitas garam saat ini masih rendah sehingga harga jual dan serapannya pun rendah. “Kami ingin garam yang masuk dalam kebutuhan pokok adalah garam dengan kualitas K1 (kadar NaCl 49%). Kalau masuk ke Perpres (nantinya) dipatok, misalnya Rp 1.000 per kilogram. Tapi ini masih usulan setingkat deputi, dan akan kita rapatkan lagi,” tambahnya.

Di tahun 2018 total produksi garam mencapai 2.719.256 ton, dengan rincian sebanyak 369.626 ton merupakan produksi PT Garam. Diperkirakan total kebutuhan garam nasional adalah 4.700.000 ton. Sejak tahun 2017 hingga tahun 2018 terjadi peningkatan jumlah produksi kurang lebih 1 juta ton per tahun. “Jadi ada separuh yang masih harus dipenuhi dari impor. Ini harus diatasi, yaitu dari ekstensifikasi dan intensifikasi atau pengembangan teknologi,” tambahnya.

Menurutnya ada 7 hal penting terkait garam di Indonesia, pertama terkait ekstensifikasi lahan garam di beberapa daerah seperti di Sulawesi Selatan, Aceh, kedua intensifikasi lahan garam,  ketiga peningkatan kualiats garam menggunakan teknologi dan inovasi, keempat penyerapan garam rakyat. Kelima, harga garam rakyat yang akhir- akhir ini menjadi polemik, keenam kegunaan garam, ketujuh fortifikasi yodium untuk garam konsumsi.

Di Indonesia garam dibedakan menjadi dua yaitu garam konsumsi yang beryodium untuk rumah tangga, kesehatan atau diet. Selain itu ada garam industri yang digunakan untuk bahan baku sekitar 400 jenis industri seperti industri penyamakan kulit, kimia, aneka pangan, perminyakan, makanan ternak dan lainnya. (eka)